Thursday, May 23, 2013

Dibutuhkan Lebih dari Sekedar Keajaiban

Saya menulis postingan ini di dalam kereta yang sedang melaju menuju Solo. Di sebelah kiri saya duduk Komang Natalia, teman sejak SMA namun baru akrab sejak di bangku kuliah. Sedangkan di sebelah kanan saya, Meltari Daruningtyas, perempuan tangguh yang selalu menginspirasi saya. Kami bertiga akan turun di Jogja, lalu kemudian melanjutkan perjalanan menuju Borobudur untuk mengikuti perayaan Waisak.

Ide jalanjalan ini dimulai ketika di bulan Januari saya tibatiba kepingin sekali datang dan mengikuti upacara Waisak di Borobudur. Sebenarnya ini adalah keinginan sejak 2009 yang baru sekarang berani diwujudkan. Ide ini saya utarakan pada Komang dan Meltari, dua perempuan pekerja keras yang samasama bekerja di Deloitte (salah satu dari big four, cyiinn. keren ya mereka?!).

Sejak awal saya menyadari resikonya saat mengajak mereka berlibur bersama. Kirakira mereka punya waktu nggak ya? Dengan kesibukan kerja yang gilagilaan, mungkin nggak sih mereka cuti dan kabur sebentar untuk bertualang bersama saya?

Diskusi panjang kami menghasilkan sebuah keputusan: ya, kami akan datang perayaan Waisak tahun ini.

Saya merelakan diri untuk mengurus tiket dan survey soal penginapan. Sengaja saya memilih berangkat dengan kereta paling malam supaya masih ada kesempatan untuk mereka tiba di stasiun tepat waktu.

Proses pesan tiket dan booking penginapan berjalan lancar. Tapi justru ketegangan muncul di harihari menjelang keberangkatan.

Dua hari sebelum hari keberangkatan, saat saya sedang sibuk packing tibatiba Meltari ngetweet: masih ada tiga manajer yang belum approve cuti gue, doain yak. Okesip. Degdegan pertama.

H min 1 Melty bilang ada acara dinner kantor yang nggak bisa ditinggal di hari keberangkatan kami. Melty meminta saya dan Komang menuju stasiun Senen duluan. Nanti Melty akan menyusul kami dengan ojek. Okesip. Degdegan kedua.

Saya dan Komang berjanji untuk bertemu sekitar pukul 6 sore. Kereta kami berangkat pukul 9 malam. Masih ada waktu untuk numpang mandi di kosan Komang. Setelah itu kami akan mencari makan malam lalu menuju stasiun Senen. Rencana yang ciamik.

Tapi di hari H, pagipagi Komang kirim whatsapp: Gon gue mendadak ada invitation discussion jam 8 malem aja gitu. Nanti lo ke stasiun Senen duluan aja ya. Okesip. Eh apa?! Bagaimana?! Degdegan ketiga. Mungkin di saat ini harusnya dada saya udah disetrum pake alat pacu jantung.

Dan tadi di kantor saya lemes. Pasrah. Bingung. Tapi tetep masih degdegan. Semoga dua partner jalanjalan saya diberi kelancaran sehingga bisa sampai di stasiun Senen tepat waktu.

Meltari udah sempet bilang: kalo terjadi apaapa, amitamit jangan sampe sih, gue ditinggal aja ya Gon.

Oh noooo!! Digituin malah saya makin gak karuan. Ini butuh lebih dari sekedar keajaiban supaya dua partner saya bisa tetep ikut jalanjalan.

Jam 7 malam saya menuju stasiun Senen dengan gontai. Kalau terpaksanya saya harus pergi sendiri, saya pasrah. Toh perginya ke Jogja, tempat yang nggak asing buat saya, rumah kedua.

Tapi Tuhan emang baik banget. Saya nggak dibiarin sendirian melakukan perjalanan ini. Dua partner saya muncul jauh sebelum waktu keberangkatan. Mau tau gimana perasaan saya waktu ngeliat mereka berdua muncul di stasiun? Kayak orang yang abis boker setelah sebelumnya mesti nahan setengah mati karena gak nemu WC. Legaaaaa....

Sekarang saatnya memulai petualangan. Mari tinggalkan sejenak semua keriweuhan di Jakarta. Peluk Meltari dan Komang yang sudah mau berjuang supaya saya nggak jalanjalan sendirian hehehehehe.

 

(c)2009 racauan si tukang cerita. Based in Wordpress by wpthemesfree Created by Templates for Blogger