Wednesday, July 23, 2014

Bukan Soal Menang Kalah

Kalau kamu mengira tulisan ini tentang capres, kamu salah besar. Jadi daripada menyesal, mendingan ditutup aja. Saya kurang suka nulis yang berbau politik di blog saya. Tulisan ini justru meracau tentang kehidupan pribadi (seperti biasanya :P)

Saya anak perempuan pertama dan saat ini berusia 27 tahun. Saya punya dua adik, satu perempuan yang hanya selisih 1,5 tahun dan satu lagi laki-laki yang berbeda 8 tahun. Karena perbedaan usia yang tak terlalu jauh dengan adik perempuan, hubungan kami cukup akrab. Sejak kecil, Ibu memakaikan kami baju dengan model yang sama hanya berbeda warna. Saya merah, ia biru. Ia kuning, saya hijau. Tak hanya soal pakaian, kami juga punya mainan yang sama. Saya ingat dulu punya mainan telepon yang persis dengan punya adik, lagi-lagi hanya berbeda warna. Belum lagi tas, boneka, sepatu, dan sebagainya. Mungkin Ibu tak ingin kami bertengkar berebut barang. Begitu juga saat salah satu dari kami ulang tahun. Maka yang satunya juga akan mendapatkan hadiah. Rasanya seperti ulang tahun dua kali dalam setahun. Bisa jadi karena Ibu hanya ingin bersikap adil pada kami. Entahlah.

Namun, semakin besar, justru rasanya kami tak lagi mendapatkan hal yang sama. Malah seringkali kami dibandingkan meskipun hal tersebut tak terlalu kentara. Dari playgroup hingga SMP kami bersekolah di sekolah yang sama. Perbandingan mulai terasa ketika saya sering mendapat ranking sedangkan adik tidak. Untung bagi saya, namun sial bagi adik. Mungkin ia rasanya menjadi begitu berbeban. Hingga akhirnya ketika SMA, saat saya memilih masuk sekolah swasta katolik yang isinya perempuan semua dengan sistem pendidikan begitu ketat, adik memilih sekolah lain. Sebuah sekolah negeri yang lokasinya tak begitu jauh dari sekolah saya. Buat saya rasanya jomplang. Kakaknya di Sanur, kok adiknya di Boedoet? (Yaudah terpaksa sebut merk deh biar gampang. hehehe). Namun, hal tersebut tak pernah saya utarakan ke adik demi menjaga perasaannya. Hanya saja saya seringkali tak mau menjawab pertanyaan teman-teman: "Adek lo sekolah di mana?". Gengsi saya masih terlalu besar ketika itu.

Beranjak ke masa kuliah, saya masuk universitas negeri lewat jalur SPMB. Rasanya bangga banget. Lalu, tahun berikutnya giliran adik saya mencoba SPMB. Namun tidak tembus. Lagi-lagi aura persaingan terasa. Tapi, akhirnya adik masuk ke akademi sekretaris ternama.

Karena adik saya D3 dan saya S1, maka kami lulus kuliah di waktu bersamaan. Kami pun mencari pekerjaan yang sesuai minat masing-masing. Adik menjadi sekretaris di sebuah perusahaan swasta, sedangkan saya menjadi guru playgroup yang gajinya hanya setengah dari gaji adik yang lulusan D3. Tentu Bapak dan Ibu lebih bangga menyebutkan perusahaan tempat adik bekerja ketimbang memberitahu orang-orang apa pekerjaan saya.

Ya, dengan selisih umur yang tak terlalu jauh, saya dan adik seringkali dibanding-bandingkan. Entah disadari atau tidak, hal itu memang terjadi. Wajar. Manusiawi.



Suatu hari datanglah sebuah pesan singkat di messenger saya. Dari adik. Intinya ia meminta ijin untuk menikah duluan karena pacarnya telah melamar.

Saya pun memberi restu padanya.

Adik bertanya saya minta pelangkah apa karena kami berasal dari keluarga Jawa. Ada kepercayaan bahwa adik yang akan menikah duluan harus memberi pelangkah kepada kakak perempuannya supaya kakaknya juga enteng rejeki dan enteng jodoh. Saya terdiam sejenak.

Tak lama saya katakan: seikhlasnya kalian berdua saja. Pikirkan kemampuan kalian juga, karena masih ada pesta pernikahan dan biaya hidup setelahnya yang harus dipenuhi. Pelangkah hanyalah syarat, bagian dari tradisi.

Saya memang tidak senang menghalangi jalan rejeki orang lain. Jika adik memang mendapat rejeki untuk menikah duluan, saya ikhlas. Tiap-tiap orang sudah diatur jalan rejekinya oleh Tuhan.

Yang saya pikirkan adalah apakah Bapak dan Ibu masih menganggap ini sebuah kompetisi antara saya dan adik.

Karena buat saya, menikah bukanlah pertandingan. Bukan berarti yang menikah lebih dulu adalah yang lebih berhasil. Dan bukan berarti saya gagal.

Pun menikah bukanlah satu-satunya jalan menuju kebahagiaan. Menikah itu bukanlah tujuan hidup. Menikah hanyalah salah satu sarana atau cara untuk mencapai tujuan. Lalu, apa tujuannya? Hidup bahagia. Jadi, tidak harus menikah untuk bisa bahagia.

Maka, kemarin saat novena saya berdoa dengan sungguh, semoga Bapak dan Ibu mengerti bahwa jika adik menikah lebih dulu, bukan berarti saya gagal. Bukan berarti juga saya harus cepat-cepat menyusul ketinggalan.

Karena sekali lagi, menikah bukan soal menang atau kalah.

Thursday, July 03, 2014

Naksir Sahabat Lawan Jenis

Banyak penelitian yang bilang kalau perempuan dan laki-laki tuh nggak bisa tulus bersahabat tanpa salah satunya jadi naksir. Kayak yang saya baca di sini. Ya gak tau sih kalau ada yang nggak setuju, tapi kalau saya sih.... *menerawang jauh*

dapet kiriman gambar ini dari Moncil *langsung merenung*

Nah biasanya apa sih yang bisa dilakukan kalau tiba-tiba kita naksir sahabat sendiri?

Ketap-ketip diem aja sambil mengubur dalam-dalam perasaan. Ya abis gimana dong, kalau ngaku, nanti malah persahabatan jadi rusak. Mendingan dikubur aja perasaannya sambil tetap bersikap biasa saja dan diam-diam memandangi dengan penuh cinta *sigh*

Curhat sama sahabat yang lain. Kalau ternyata perasaannya udah segitu besarnya, dan ga sanggup dipendem sendirian, coba deh curhat ke sahabat kamu yang lain. Tapi bukan ke oknum yang kamu taksir ya. Itu sih namanya bikin pengakuan. Resikonya curhat begini sih palingan sahabat kamu ember, terus cerita ke si oknum yang kamu taksir, terus kalian diciye-ciyein kayak anak sma. Kalau dianya juga naksir sih gpp ya, lha kalau nggak? Palingan juga kamu doang yang malu (tapi mau :p)

Main gombal-gombalan. Udah naksir banget tapi bingung gimana ngasih taunya? Pake #kode kayak anak jaman sekarang. Coba aja si sahabat yang kamu taksir itu kamu gombalin. Kalo dia gombalin balik kan lumayan ya bikin hati ser-seran. Tapi kalo dia bingung kenapa tiba-tiba kita jadi bermulut manis, tinggal ngeles aja bilang: 'ah lo payah ga bisa adu gombal. Besok latian dulu lah kalo mau tanding lawan gue.'

Berusaha jodohin dia sama orang lain. Harapannya sih kalo kamu bilang dia cocok sama si X, dia akan jawab: nggak ah, aku naksirnya sama kamu *pukul-pukul manja* Tapi kalo ternyata dia malah beneran naksir sama orang yang kamu jodohin gimana? Terima nasib aja. Lagian siapa suruh sok-sokan nyomblangin dia sama orang lain? *kunyah menyan*

Ngaku lewat email atau chatting. Kalo emang susah ngaku secara langsung, coba aja secara tertulis. Lha kalo dia ga naksir balik gimana? Gampang.... bilang aja tadi dibajak sama temen yang rese. Terus blocked dia dari messenger kamu dan menghilanglah dari kehidupan dia. Selamanya. 

Ngomong langsung. Ini nih baru keren. Yaudah sih ngaku aja. Punya perasaan lebih ke sahabat lawan jenis kan ga salah. Lagian siapa suruh kalian deket, siapa suruh tiap hari ngobrol, siapa suruh sering nonton bareng, makan bareng, jalan-jalan bareng, berduaan aja, kadang-kadang gandengan tangan, gelendotan manja, rangkul-rangkul, peluk-peluk, ndusel-ndusel, mana sama-sama single? #eh
Cara ngaku yang enak gimana? Ini saya kasih contoh ya.
A: Aku kan pernah naksir kamu.
H: Ha? A ha ha ha ha. Oya? Pernah ya? Sama dong, dulu aku juga pernah.
A: Hehehe ini serius tau.
H: Hahaha iya. Untung kita nggak jadian ya. Kalo nggak, pasti kita ga bakal bisa ngobrol sesantai ini dan seasik ini.
A: E he he iya kali ya he he he
Terus H ngajakin si A toss. Lalu si A pulang ke rumah dengan gamang. 'Pernah' bukan berarti sekarang 'udah nggak' kan ya? *nangis kejer di pojokan*

Nulis blog. Daripada dipendem sendiri malah jadi bisul. Daripada curhat ke temen lain yang gataunya ember. Daripada ngaku ke oknumnya malah jadi merusak persahabatan. Kan mendingan numpahin perasaan lewat tulisan. Siapa tahu sahabat kamu baca tulisan kamu itu. Dan siapa tahu kamu juga baca tulisan saya ini.
 

(c)2009 racauan si tukang cerita. Based in Wordpress by wpthemesfree Created by Templates for Blogger