Sunday, February 19, 2017

Tambah Usia

Lewat beberapa jam dari tanggal 18 Februari, hari ulang tahun saya. Namun, ternyata masih menyisakan kehangatan dan kebahagian yang membuat saya tak kunjung memejamkan mata.


Saya selalu menyukai ulang tahun. Dari kecil, ulang tahun saya selalu dirayakan. Tiup lilin, potong kue, mengundang keluarga dan tetangga, dapat banyak hadiah. Saya selalu menanti-nanti datangnya tanggal 18 Februari. Bahkan sejak awal Februari, saya mulai senyum-senyum senang.


dapet 'kue' sushi dari sebuah restoran sushi ternama



Menunggu-nunggu ulang tahun bukan berarti saya ikhlas menerima pertambahan usia. Buat saya, hari lahir perlu dirayakan setiap tahun. Tapi kalau mulai ada yang membahas soal tambah usia, tambah tua, berkurang umurnya, saya langsung tutup kuping. Saya tidak ingin lagi bertambah usia sejak ulang tahun ke 23. Di tahun-tahun berikutnya, saya selalu mengatakan bahwa usia saya dua puluh tiga. Parahnya, saya jadi sering salah menulis di formulir pendaftaran. Saya refleks menorehkan angka 23 di kolom usia. Forever twenty three!


Galau-galau mengenai pertambahan usia ini makin terasa menakutkan ketika tahun lalu saya menginjak usia 29. Rasa-rasanya saya tidak siap untuk memasuki usia kepala 3. Saya sering mendengar cerita bahwa banyak perubahan-perubahan hidup terjadi ketika usia 30, baik itu soal pekerjaan, pilihan hidup, bahkan status seseorang. Ah, saya makin tidak siap menghadapinya.


Sepanjang tahun 2016 pun akhirnya diisi dengan bermacam-macam pertanyaan tentang hidup: apa sebenarnya tujuan hidup saya? Kalau saya terus menerus tidak bahagia dengan pekerjaan yang saya lakukan, sebenarnya pekerjaan apa yang sesuai? Kebahagiaan macam apa yang sebenarnya saya cari? Bagaimana bila ternyata pilihan hidup yang saya ambil selama ini salah?


Saya terus menerus membawa pertanyaan-pertanyaan itu. Galau tak berkesudahan. Bingung tanpa arah tujuan. Bertanya tapi tak kunjung dapat jawaban. Hingga suatu hari saya memberanikan diri menambahkan satu pertanyaan lagi. Kali ini pertanyaannya bukan melulu soal saya. Kali ini saya memberanikan diri bertanya: Tuhan, apa yang Engkau inginkan dari hidupku?


Njir! Serem yak. Abis nanya gitu saya langsung mewek. Takut. Nggak siap denger jawaban Tuhan. Terus mau diralat kok kayaknya nggak bisa. Tuhan udah terlanjur denger pertanyaan saya (mungkin abis itu Tuhan jawil-jawil dagu saya sambil bilang: bener nih mau denger jawabanKu? Yakin udah siap? Dan saya pun melambai-lambaikan tangan ke kamera).


Saya nggak mau kegalauan ini berlangsung terus menerus. Saya harus berbuat sesuatu, mengambil langkah konkret. Saya ingin denger Tuhan akan berbicara apa ke saya. Supaya bisa dengerin jawaban Tuhan, saya harus menyediakan waktu khusus denganNya. Maka, di penghujung tahun 2016, saya melakukan retret pribadi selama delapan hari. (Pengen cerita detail soal proses retret dan pengalaman yang saya dapatkan, tapi lain waktu aja ya. Mulai kriyep-kriyep ngantuk pas ngetik nih. Hahahahaha).


Intinya, ketika retret saya menyadari bahwa Tuhan sungguh mencintai saya sejak awal, bagaimana pun nakalnya saya, bagaimana pun parahnya luka yang saya punya, Tuhan tetap mencintai saya. Kalau kata salah seorang sahabat saya, Moncil, cinta Tuhan tuh luber-luber dan sering lupa takaran. Persis! Saya bahkan sering merasa bahwa saya tuh siapa sih, kok Tuhan bisa mencintai saya sampe segininya? Saya dikasih banyaaaaaaaakkkkk banget rahmat: kesehatan, orang tua dan keluarga, teman-teman, pekerjaan, rejeki, dan masih banyak lagi nggak keitung saking banyaknya.


Pasca retret, saya jadi lebih bisa menerima diri saya, menerima semua hal yang terjadi dalam hidup beserta pahit manisnya, galau-galaunya, bingung-bingungnya. Termasuk menerima bahwa saya akan segera masuk usia 30 hahahahahaha.


Terus, jawabanNya apa nih untuk pertanyaan: Tuhan apa yang Engkau inginkan dari hidupku? Weits, rahasia *senyum kalem*. Yang pasti Tuhan mau saya lebih banyak mensyukuri cinta dan rahmat yang sudah Dia berikan buat saya. Dan kemudian membagikan cinta dan rahmat tersebut kepada sebanyak mungkin orang di sekitar saya.


Hari ini (eh kemarin sih tepatnya, kan 18 Februarinya udah lewat beberapa jam), ketika saya ulang tahun, saya lagi-lagi merasakan limpahan cinta Tuhan yang luber-luber lewat keluarga dan teman-teman yang selalu menemani, mendukung, dan mendoakan saya *duh mulai mewek ngetiknya* *kelenjar airmata saya emang lemah*

diberkati Romo Mario, SJ. Meski penampakannya kayak anak SD baru pulang les, tapi beliau udah sah ngasih berkat lho!

Ketika tadi ada seorang teman bertanya: Kamu tahun ini minta didoain apa Nggun? Saya hanya tersenyum. Saya tidak tahu harus minta apa lagi ketika saya sudah diberi banyak cinta. Maka, kalau boleh, saya ingin meminta agar keluarga dan teman-teman saya bisa merasakan cinta Tuhan sebesar apa yang saya rasakan.


- Giasinta Angguni Pranandhita, yang sekarang dengan ikhlas bilang: umur saya tiga puluh tahun (meski muka masih kayak dua tiga #teteup #olesoleskrimantiaging)

foto diambil tanggal 18 Februari 2017, umur tiga puluh, muka dua tiga. Masih kinyis-kinyis kan?

Monday, February 06, 2017

Tepat pada WaktuNya

Hari ini perasaan saya nggak karuan. Antara senang (karena akhir pekan kemarin semua rencana bisa berjalan, bisa ketemu teman-teman yang udah lama nggak ketemu, dan bisa ketawa-ketawa bareng), lelah (sepanjang minggu kemarin saya mendedikasikan waktu saya untuk menemui anggota circle satu per satu dan mendengarkan semua cerita mereka, mungkin energi saya jadi habis terserap), dan ternyata yang paling dominan adalah rasa sedih.


Iya, sedih karena tak kunjung mendapat pekerjaan yang sesuai dengan hati saya. Kemarin ada tawaran pekerjaan, namun hati saya masih belum sreg. Terpaksa saya tolak. Hari ini rasa sedih mulai muncul lagi. Saya sedih kalau nggak bisa berbuat apa-apa ketika ibu bilang beras habis. Saya sedih ketika kemarin seorang teman membayari saya makan meski ia melakukannya dengan ikhlas karena tahu saya tidak punya uang. Saya sedih ketika sudah berminggu-minggu belum ada kabar dari sekian banyak lamaran pekerjaan yang saya kirim.




Kesedihan hari ini membuat saya sesak. Saya pun meniatkan diri untuk mampir ke Katedral sepulang kerja (FYI, saya sekarang jadi volunteer, membantu Romo Is di Sahabat Insan. Tidak terikat jam kerja, tidak terikat kontrak. Saya boleh terus membantu sampai saya mendapat pekerjaan).


Biasanya jam lima sore saya sudah bisa pulang. Misa harian dimulai pukul enam. Jalan kaki dari kantor ke Katedral sekitar 20 menit. Wah, pas nih.


Jam empat lewat, adik saya menawari saya untuk pulang bersama dengannya dan suami. "Jam setengah enam ketemu di kantor Didit ya Mbak." Wah, kok tawaran ini terasa lebih menarik. Saya jadi bisa menghemat ongkos pulang.


Ah tapi saya sudah meniatkan diri untuk misa dulu. "Duluan aja, Cha. Aku nanti pulang sendiri aja. Makasih ya." Saya balas pesannya dengan segera. Meski demikian, saya sempat khawatir bagaimana ya nanti caranya pulang ke rumah. Saldo Go-Pay saya sudah habis. Pun nggak mungkin naik taksi karena tight money policy. Sudahlah, pikirkan saja nanti, yang penting misa dulu.



Dua puluh menit berjalan kaki dari Pasar Baru menuju Katedral, saya hampir tidak bisa menahan airmata. Kesedihan ini begitu mengganggu. Saya mempercepat langkah. Ketika akhirnya tiba di Katedral, dengan tergesa-gesa saya masuk dan mencari tempat duduk. Secara random, saya memilih bangku sebelah kiri agak ke belakang.


Saya meletakkan tas, berlutut, dan menangis sejadi-jadinya. Sedih. Lelah. Takut. Bimbang. Semua hal yang mengganjal saya keluarkan tanpa malu-malu bersama airmata yang mengalir deras.


Misa dimulai. Bacaan hari ini tentang Allah yang menciptakan bumi dan segala isinya. Pikiran saya pun melayang mengingat saat-saat saya retret di Girisonta bulan lalu. Saya masih ingat bahan doa di hari kedua retret diambil dari kitab Kejadian tentang penciptaan. Ketika itu saya menyadari betapa Allah mencintai manusia karena Allah menciptakan dulu bumi dan segala isinya untuk manusia. Dan semua yang Allah ciptakan baik adanya. Saya ingat-ingat lagi bagaimana perasaan saya saat retret ketika membaca kisah penciptaan. Kedipan pertama dari Tuhan.


Lanjut ke bacaan Injil yang intinya supaya manusia jangan takut kepada mereka yang dapat membunuh tubuh tapi kemudian tidak dapat berbuat apa-apa lagi. Manusia takutnya sama Tuhan aja, karena Dia dapat membunuh tubuh dan membuang jiwa ke neraka. Terus bagian lain dari Injil yang saya ingat adalah tidak seorang pun dilupakan oleh Allah, bahkan rambut kita pun terhitung semuanya. Karena itu jangan khawatir, karena kamu lebih berharga dari burung pipit. Kedipan kedua dari Tuhan.


Homilinya tentu saja nyambung dengan bacaan. Kebetulan hari ini dirayakan sebagai peringatan Santo Paulus Miki, dkk. Paulus Miki adalah martir Jesuit dari Jepang. Waktu itu penguasa Jepang memerintahkan semua misionaris yang berkarya di Jepang harus meninggalkan negeri itu. Kalau nggak nurut bakal dibunuh. Paulus Miki dianiaya dengan kejam kemudian disalib. Bahkan di saat-saat terakhir, Paulus Miki masih terus berkhotbah sambil tergantung di salib untuk membesarkan hati kawan-kawannya. Ck! Keren banget lah Santo Paulus Miki ini. Udah disiksa, disalib, masih sempet-sempetnya khotbah. Lah saya baru jadi pengangguran beberapa bulan aja udah mewek-mewek nggak karuan. Kedipan ketiga dari Tuhan.


Pas persembahan, lagunya ternyata Ambillah Tuhan. Liriknya begini:
Ambillah Tuhan, kemerdekaanku
dan kehendak, serta pikiranku
Trimalah Tuhan, yang ada padaku
Gunakanlah seturut hasratMu
Hanya rahmat dan kasih dariMu
yang kumohon menjadi hartaku

Dua baris terakhir adalah salah satu hal yang sering saya doain ketika retret kemarin. Rahmat dan kasih Tuhan, itu saja cukup bagiku. Padahal Tuhan sudah memberikan rahmatNya berlimpah ruah kepada saya. Lha terus kenapa sekarang jadi malah sedih dan khawatir sih? Kedipan keempat dari Tuhan.



Bisa dipastikan, saya nangis terus sepanjang misa. Saya sudah tidak peduli kalau orang-orang di sekitar saya melihat airmata saya.


Setelah misa selesai, saya masih belum bisa menenangkan diri. Airmata terus menerus mengalir. Tapi sedihnya sudah berkurang, karena saya sudah curhat sama Tuhan yang dijawab langsung olehNya. Saya mengelap airmata dengan tissue, kemudian melangkah ke pintu.


Tiba-tiba saya berpapasan dengan Yudi, teman SD yang sudah belasan tahun tidak bertemu. Kami bertukar kabar sejenak. Yudi bekerja di Kementrian Luar Negeri. Ia sering misa harian di Katedral. Namun, Jumat besok ia sudah harus berangkat tugas ke Argentina. Saya tidak terpikir untuk bertukar nomer kontak. Saya malu karena wajah saya sembab habis menangis, dan tidak berharap berpapasan dengan orang yang dikenal.


Di depan goa Maria, ternyata saya lagi-lagi bertemu dengan orang yang dikenal: Kak Arthur! Kakak idola yang satu ini menawari saya pulang bareng dengannya.



Ya ampun, Tuhan tuh beneran baik banget sama saya. Setelah memberi pesan tepat saat saya membutuhkannya, Dia juga mengirimkan tebengan yang tepat untuk saya pulang ke rumah. Hehehe. Semoga Tuhan juga akan memberikan pekerjaan untuk saya di saat yang tepat. Tepat pada waktuNya, bukan waktu saya.
 

(c)2009 racauan si tukang cerita. Based in Wordpress by wpthemesfree Created by Templates for Blogger