Friday, December 19, 2014

Ketika Saya yang Single Tetap Kalem, Namun Sekeliling Saya yang Repot

Disclaimer : Postingan saya ini bakal sebut-sebut Flores. Jadi dari awal saya minta maap dulu nih jikalau ada yang tersinggung. Nggak, saya nggak benci Flores kok. Mantan saya Flores - Jawa. Saya juga pernah naksir seorang Flores - Jawa lainnya. Dulu jaman pernah jadi relawan gempa Jogja 2006, ada seorang mahasiswa Flores yang mendekati saya. Tante saya juga ada yang Flores. Pacar adik saya juga Flores - Jawa. Bahkan saya niat pingin menjelajah Flores suatu hari nanti (masih nabung nih). Jadi, kalau nggak benci lalu kenapa? Ya saya cuma merasa too much Flores in my life. Dan sesuatu yang berlebihan itu pada dasarnya nggak baik, kan? Hehehehehe. Yaudah sih ah, ini baru pengantar aja udah panjang begini.



Cerita diawali dengan latar belakang bahwa saya akan dilangkah oleh si adik yang akan menikah bulan Mei 2015. Ini udah pasti. Bukan kayak iklan yang Maybe Yes Maybe No. Tentu saja reaksi orang-orang adalah: aaaahhh Gone, kamu nggak apa-apa?


Ya nggak apa-apa sih. Tapi kalo semua orang, setiap kali ketemu, selalu nanya pertanyaan yang sama, ya saya jadi kenapa-kenapa. Saya jadi kesel. Emang kenapa kalau dilangkah? Bebas sih kalau mau kasihan sama saya. Tapi saya nggak butuh dikasihani butuhnya dikasih duit aja buat jalan-jalan hehehehehe. Nah, atas dasar rasa kasihan karena saya akan dilangkah sementara sekarang saya nggak punya pacar, banyak orang yang berinisiatif untuk menjodohkan saya dengan siapapun. Berhubung saya anaknya baik hati dan sopan, semua kalimat yang bilang: "mau aku kenalin sama sepupuku nggak?" atau "ada nih ponakannya teman tante yang seumur kamu. Baik loh anaknya. Kukasih nomer kamu ya?" atau "eh temen kantor gue ada yang katolik single baik. Kapan-kapan mesti ketemuan deh" dan banyak sekali kalimat lainnya bernada sama, selalu saya jawab dengan: "boleh kok kalo cuma mau kenalan aja." sambil tersenyum supermanis :) :) :)


Suatu hari saya sedang berkunjung ke rumah tante saya yang Flores. Sebut saja Tante E. Saya datang bersama ibu dan adik serta sepupu-sepupu yang lain. Di rumah tante E ternyata sedang ada seorang teman kuliahnya datang berkunjung, namanya Tante J. Dulu tante E dan tante J sama-sama berkuliah di Kupang. Saat bersalaman dengan saya, tiba-tiba tante J memegang kedua pipi saya sambil bilang: "Ya ampun Angguni kamu manis sekali. Kamu mau jadi orang Kupang, say? Nanti ya tante kenalkan kamu dengan ponakan tante yang kerja di Jakarta."

Saya cuma cengar-cengir bingung. Mau jawab 'Nggak mau' tapi kok nanti kesannya tidak sopan. Nanti citra saya sebagai perempuan anggun, baik hati, dan ramah langsung runtuh. Saya nggak menjawab ketika itu. Punya mantan Flores bukan berarti tipe lelaki yang saya suka adalah Flores. Cuma memang, misi si tante E adalah memfloreskan keluarga besar saya supaya kalo pulang kampung ada barengannya. Hahahahaha.


Sebulan kemudian, tante J meminta nomer hp saya melalui tante E. Awalnya minta pin BBM. Tapi saya bukan pengguna BBM. Jadi yang diminta adalah nomer telepon. 


Seminggu setelahnya tiba-tiba ada sms masuk. Seorang cowok berinisial I ngajak kenalan. Bahasanya pakai 'beta' dan 'nona'. Walau ia tak mengatakan dari mana tahu nomer hp saya, namun kecurigaan saya mengarah pada dua tante itu. Sengaja saya tak balas dulu sms itu.  


Malamnya tante J sms saya: "Angguni, ini tante J, teman tante E, masih ingat kan? Nanti akan ada laki-laki yang sms/telp kamu, tolong diterima ya say."


EBUSET! Belum pernah ketemu udah disuruh terima? Apalah maunya si tante ini. Hahahaha. Lagian kesannya kayak pesen barang di online shop, terus pas paketnya udah mau sampe dibilang: "tolong diterima ya." Hahahahaha.


Nah saya tanya ke si tante J nama laki-laki yang akan sms biar saya nggak salah. Sekalian mau memastikan apakah si I itu adalah orang yang dimaksud. Soalnya kalo ada telepon dari nomer tak dikenal, saya suka males ngangkat. Sms yang tidak ada nama pengirimnya pun nggak pernah saya balas. Si tante J bilang kalau yang akan sms namanya Y. Wah berarti I itu bukan dong ya? Eh ternyata, tante J bilang I dan Y berteman.


Eh? Loh? Kok? Duh, Saya jadi curiga jangan-jangan nomer hp saya sudah diblast di bbm group para pemuda di Flores (emangnya ada? Ya nggak tau juga. Namanya juga nebak-nebak). Atau mungkin foto serta nomer hp saya sudah ditempel di papan-papan pengumuman di balai desa dengan caption 'Nona Jawa Manis Cari Suami'. Hahahahaha.


Lalu, karena saya baik hati dan sopan, keesokan harinya sms I saya balas. Dia tanya pin BBM, saya jawab nggak ada. Dia bilang: nggak main BBM, tapi kalo Facebook ada dong? 

Uwoh, so cheesy! Punchline kayak gitu mungkin kena kalo dikeluarinnya beberapa tahun lalu. Dulu gombalan kayak gitu masih sering kita dengar. Semacam: "Ada dongkrak nggak? Oh nggak ada? Tapi kalo nomer telepon ada dong?". Hahahahaha. 


Kebetulan akun Facebook saya di-setting supaya nggak bisa di-search sama mereka yang bukan teman. Jadi saya tanya apa akun Facebooknya I. Sekalian biar saya bisa stalking dulu. Hahahahaha. 


Tapi saya juga anaknya gampang ilfeel. Ilfeel sama gaya bahasa smsnya I yang alay (bukan, bukan masalah pake 'beta' dan 'nona', tapi mengganti '-nya' dengan 'x' atau memakai singkatan-singkatan kata yang nggak lazim. Maaf ya, saya kalau sms emang harus sesuai EYD gitu sih :P). Ilfeel dengan caranya I yang rese banget sms melulu. Kalau smsnya tidak saya balas, ia akan sms lagi dan lagi sampai saya balas. Duh, kerjaan saya kan bukan cuma ngeliatin hp untuk menunggu sms masuk. 

Ah sudahlah. Bukan salahnya I kok. Ini mungkin memang saya aja yang dari awal nggak pernah tertarik dengan ide perjodohan. 


Kalau kenalan mah kenalan aja, nggak usah dengan intensi mau menjodohkan. Saya pasti langsung kabur kalau digituin. Jangankan dengan mereka yang baru saya kenal, dengan teman yang sudah saya kenal tapi tiba-tiba melakukan 'first move' PDKT langsung bikin saya takut. 'Ih ngapain sih lo? Syuh syuh syuh udah ah biasa aja.'


Lalu, bagaimana dengan Y? Kata si tante E, Y memang pemalu makanya I berinisiatif melakukan first move. Tapi Y akan datang ke rumah tante E saat natalan. Saya? Oh sudah pasti menyiapkan segudang alasan sehingga nggak perlu datang ke rumah tante E tanggal 25 Desember besok. Hehehehe.


Kadang saya suka kagum dengan kegigihan orang-orang yang memaksa saya untuk cari pacar, menjodohkan saya dengan kenalannya, memberi akun Facebook atau nomer telepon saya kepada orang-orang yang dianggap sesuai kriteria saya, dan sebagainya. Kok ya kalian heboh banget nyariin saya pacar, lha saya baik-baik aja kok. Beneran deh. Jadi tak usah repot-repot lagi nyuruh-nyuruh saya cari pacar. Mending bayarin saya jalan-jalan aja *tetep usaha* Hehehehe.

Wednesday, July 23, 2014

Bukan Soal Menang Kalah

Kalau kamu mengira tulisan ini tentang capres, kamu salah besar. Jadi daripada menyesal, mendingan ditutup aja. Saya kurang suka nulis yang berbau politik di blog saya. Tulisan ini justru meracau tentang kehidupan pribadi (seperti biasanya :P)

Saya anak perempuan pertama dan saat ini berusia 27 tahun. Saya punya dua adik, satu perempuan yang hanya selisih 1,5 tahun dan satu lagi laki-laki yang berbeda 8 tahun. Karena perbedaan usia yang tak terlalu jauh dengan adik perempuan, hubungan kami cukup akrab. Sejak kecil, Ibu memakaikan kami baju dengan model yang sama hanya berbeda warna. Saya merah, ia biru. Ia kuning, saya hijau. Tak hanya soal pakaian, kami juga punya mainan yang sama. Saya ingat dulu punya mainan telepon yang persis dengan punya adik, lagi-lagi hanya berbeda warna. Belum lagi tas, boneka, sepatu, dan sebagainya. Mungkin Ibu tak ingin kami bertengkar berebut barang. Begitu juga saat salah satu dari kami ulang tahun. Maka yang satunya juga akan mendapatkan hadiah. Rasanya seperti ulang tahun dua kali dalam setahun. Bisa jadi karena Ibu hanya ingin bersikap adil pada kami. Entahlah.

Namun, semakin besar, justru rasanya kami tak lagi mendapatkan hal yang sama. Malah seringkali kami dibandingkan meskipun hal tersebut tak terlalu kentara. Dari playgroup hingga SMP kami bersekolah di sekolah yang sama. Perbandingan mulai terasa ketika saya sering mendapat ranking sedangkan adik tidak. Untung bagi saya, namun sial bagi adik. Mungkin ia rasanya menjadi begitu berbeban. Hingga akhirnya ketika SMA, saat saya memilih masuk sekolah swasta katolik yang isinya perempuan semua dengan sistem pendidikan begitu ketat, adik memilih sekolah lain. Sebuah sekolah negeri yang lokasinya tak begitu jauh dari sekolah saya. Buat saya rasanya jomplang. Kakaknya di Sanur, kok adiknya di Boedoet? (Yaudah terpaksa sebut merk deh biar gampang. hehehe). Namun, hal tersebut tak pernah saya utarakan ke adik demi menjaga perasaannya. Hanya saja saya seringkali tak mau menjawab pertanyaan teman-teman: "Adek lo sekolah di mana?". Gengsi saya masih terlalu besar ketika itu.

Beranjak ke masa kuliah, saya masuk universitas negeri lewat jalur SPMB. Rasanya bangga banget. Lalu, tahun berikutnya giliran adik saya mencoba SPMB. Namun tidak tembus. Lagi-lagi aura persaingan terasa. Tapi, akhirnya adik masuk ke akademi sekretaris ternama.

Karena adik saya D3 dan saya S1, maka kami lulus kuliah di waktu bersamaan. Kami pun mencari pekerjaan yang sesuai minat masing-masing. Adik menjadi sekretaris di sebuah perusahaan swasta, sedangkan saya menjadi guru playgroup yang gajinya hanya setengah dari gaji adik yang lulusan D3. Tentu Bapak dan Ibu lebih bangga menyebutkan perusahaan tempat adik bekerja ketimbang memberitahu orang-orang apa pekerjaan saya.

Ya, dengan selisih umur yang tak terlalu jauh, saya dan adik seringkali dibanding-bandingkan. Entah disadari atau tidak, hal itu memang terjadi. Wajar. Manusiawi.



Suatu hari datanglah sebuah pesan singkat di messenger saya. Dari adik. Intinya ia meminta ijin untuk menikah duluan karena pacarnya telah melamar.

Saya pun memberi restu padanya.

Adik bertanya saya minta pelangkah apa karena kami berasal dari keluarga Jawa. Ada kepercayaan bahwa adik yang akan menikah duluan harus memberi pelangkah kepada kakak perempuannya supaya kakaknya juga enteng rejeki dan enteng jodoh. Saya terdiam sejenak.

Tak lama saya katakan: seikhlasnya kalian berdua saja. Pikirkan kemampuan kalian juga, karena masih ada pesta pernikahan dan biaya hidup setelahnya yang harus dipenuhi. Pelangkah hanyalah syarat, bagian dari tradisi.

Saya memang tidak senang menghalangi jalan rejeki orang lain. Jika adik memang mendapat rejeki untuk menikah duluan, saya ikhlas. Tiap-tiap orang sudah diatur jalan rejekinya oleh Tuhan.

Yang saya pikirkan adalah apakah Bapak dan Ibu masih menganggap ini sebuah kompetisi antara saya dan adik.

Karena buat saya, menikah bukanlah pertandingan. Bukan berarti yang menikah lebih dulu adalah yang lebih berhasil. Dan bukan berarti saya gagal.

Pun menikah bukanlah satu-satunya jalan menuju kebahagiaan. Menikah itu bukanlah tujuan hidup. Menikah hanyalah salah satu sarana atau cara untuk mencapai tujuan. Lalu, apa tujuannya? Hidup bahagia. Jadi, tidak harus menikah untuk bisa bahagia.

Maka, kemarin saat novena saya berdoa dengan sungguh, semoga Bapak dan Ibu mengerti bahwa jika adik menikah lebih dulu, bukan berarti saya gagal. Bukan berarti juga saya harus cepat-cepat menyusul ketinggalan.

Karena sekali lagi, menikah bukan soal menang atau kalah.

Thursday, July 03, 2014

Naksir Sahabat Lawan Jenis

Banyak penelitian yang bilang kalau perempuan dan laki-laki tuh nggak bisa tulus bersahabat tanpa salah satunya jadi naksir. Kayak yang saya baca di sini. Ya gak tau sih kalau ada yang nggak setuju, tapi kalau saya sih.... *menerawang jauh*

dapet kiriman gambar ini dari Moncil *langsung merenung*

Nah biasanya apa sih yang bisa dilakukan kalau tiba-tiba kita naksir sahabat sendiri?

Ketap-ketip diem aja sambil mengubur dalam-dalam perasaan. Ya abis gimana dong, kalau ngaku, nanti malah persahabatan jadi rusak. Mendingan dikubur aja perasaannya sambil tetap bersikap biasa saja dan diam-diam memandangi dengan penuh cinta *sigh*

Curhat sama sahabat yang lain. Kalau ternyata perasaannya udah segitu besarnya, dan ga sanggup dipendem sendirian, coba deh curhat ke sahabat kamu yang lain. Tapi bukan ke oknum yang kamu taksir ya. Itu sih namanya bikin pengakuan. Resikonya curhat begini sih palingan sahabat kamu ember, terus cerita ke si oknum yang kamu taksir, terus kalian diciye-ciyein kayak anak sma. Kalau dianya juga naksir sih gpp ya, lha kalau nggak? Palingan juga kamu doang yang malu (tapi mau :p)

Main gombal-gombalan. Udah naksir banget tapi bingung gimana ngasih taunya? Pake #kode kayak anak jaman sekarang. Coba aja si sahabat yang kamu taksir itu kamu gombalin. Kalo dia gombalin balik kan lumayan ya bikin hati ser-seran. Tapi kalo dia bingung kenapa tiba-tiba kita jadi bermulut manis, tinggal ngeles aja bilang: 'ah lo payah ga bisa adu gombal. Besok latian dulu lah kalo mau tanding lawan gue.'

Berusaha jodohin dia sama orang lain. Harapannya sih kalo kamu bilang dia cocok sama si X, dia akan jawab: nggak ah, aku naksirnya sama kamu *pukul-pukul manja* Tapi kalo ternyata dia malah beneran naksir sama orang yang kamu jodohin gimana? Terima nasib aja. Lagian siapa suruh sok-sokan nyomblangin dia sama orang lain? *kunyah menyan*

Ngaku lewat email atau chatting. Kalo emang susah ngaku secara langsung, coba aja secara tertulis. Lha kalo dia ga naksir balik gimana? Gampang.... bilang aja tadi dibajak sama temen yang rese. Terus blocked dia dari messenger kamu dan menghilanglah dari kehidupan dia. Selamanya. 

Ngomong langsung. Ini nih baru keren. Yaudah sih ngaku aja. Punya perasaan lebih ke sahabat lawan jenis kan ga salah. Lagian siapa suruh kalian deket, siapa suruh tiap hari ngobrol, siapa suruh sering nonton bareng, makan bareng, jalan-jalan bareng, berduaan aja, kadang-kadang gandengan tangan, gelendotan manja, rangkul-rangkul, peluk-peluk, ndusel-ndusel, mana sama-sama single? #eh
Cara ngaku yang enak gimana? Ini saya kasih contoh ya.
A: Aku kan pernah naksir kamu.
H: Ha? A ha ha ha ha. Oya? Pernah ya? Sama dong, dulu aku juga pernah.
A: Hehehe ini serius tau.
H: Hahaha iya. Untung kita nggak jadian ya. Kalo nggak, pasti kita ga bakal bisa ngobrol sesantai ini dan seasik ini.
A: E he he iya kali ya he he he
Terus H ngajakin si A toss. Lalu si A pulang ke rumah dengan gamang. 'Pernah' bukan berarti sekarang 'udah nggak' kan ya? *nangis kejer di pojokan*

Nulis blog. Daripada dipendem sendiri malah jadi bisul. Daripada curhat ke temen lain yang gataunya ember. Daripada ngaku ke oknumnya malah jadi merusak persahabatan. Kan mendingan numpahin perasaan lewat tulisan. Siapa tahu sahabat kamu baca tulisan kamu itu. Dan siapa tahu kamu juga baca tulisan saya ini.

Saturday, June 07, 2014

Dicopet tapi Tetap Bahagia

Baru saja saya mengalami sebuah peristiwa kehilangan. Kehilangan satu tas ransel berisi dompet dan barang-barang lainnya. Lha, kok bisa? Iya memang saya yang ceroboh sepertinya.

Peristiwa ini terjadi di foodcourt Sarinah. Jumat malam sepulang misa Jumat Pertama di gereja Theresia, saya, Septian, dan Ghea makan bareng sembari menunggu kemacetan mereda. Tak berapa lama, Thomas menyusul dan bergabung dengan kami. Berhubung semua membawa tas besar, dan bawaan saya yang paling banyak (satu tas ransel hitam dan sebuah tas kanvas yang juga penuh dengan barang-barang), saya meletakkan kedua tas saya di lantai, persis di sebelah kaki saya. Posisi duduknya adalah: saya bersebelahan dengan Thomas. Ghea persis di seberang saya dan Septian duduk di sebelah Ghea. Sayangnya, kedua tas saya tidak diletakkan di antara saya dan Thomas melainkan di dekat kaki kiri saya.

Kami makan dan ngobrol dengan asyik. Sesekali saya mengecek keberadaan kedua tas saya. Oh, masih aman. Saya sempat mengeluarkan kamera dari ransel hitam untuk memamerkan foto-foto liburan. Lalu, tak lama Ghea pun pamit pulang. Saya, Septian dan Thomas masih asyik melanjutkan obrolan. Si kamera dan MasJinot (smartphone kesayangan saya) ada di atas meja. Di tengah pembicaraan, Thomas meminta kertas dan pulpen. Saya berusaha mengubek-ubek ransel hitam saya tetapi karena terlalu penuh dengan barang, saya tak berhasil menemukan kedua benda tersebut. Septian pun menawarkan kertas dan pulpen miliknya. Pembicaraan berubah makin seru karena Thomas dan Septian mulai membuat coretan di kertas tentang pembicaraan kami. Kemudian, datang seorang bapak petugas cleaning service yang minta ijin membereskan piring-piring dan sisa makanan. Saat itu sudah pukul sembilan malam. Memang, hampir sebagian besar counter makanan telah tutup. Bapak itu berdiri di sebelah Thomas dan Septian (sebelah kanan saya). Kami semua memperhatikan si bapak mengelap meja dan mengangkat piring. Saya tersenyum dan mengatakan: "Terima kasih, Pak."

Lalu, kami melanjutkan obrolan yang tertunda. Saat itulah saya tersadar kalau tas ransel saya tidak ada, sedangkan si tas kanvas masih tergelatak manis. Saya yakin sih si ransel akan langsung raib. Sulit melacaknya apalagi saya tidak memperhatikan sekeliling selama ngobrol dan tidak menaruh curiga pada siapapun. Saya bertanya pada Mbak penjaga counter makanan apakah ada CCTV di area foodcourt, dan dijawab tidak ada. Kami bergegas mencari petugas keamanan yang sayangnya tidak ada di gedung itu. Kami pun keluar dan menghampiri satpam di tempat parkir. Satpam menyarankan untuk melapor ke pos polisi yang lokasinya masih di area Sarinah.

Saya berusaha mengingat-ingat barang apa saja yang ada di dalam ransel. Berhubung Senin - Jumat saya tinggal di rumah tante di Rawamangun, maka jadwal saya setiap Jumat adalah pulang ke Pondok Gede. Tentunya saya membawa pakaian dan berbagai barang printilan lainnya. Jadi, isi ransel saya yang hilang adalah:
- Dompet (isinya cuma 30 ribu, dan kemungkinan si maling bakalan nyesel karena duitnya dikit. Lagian nyolong 30 ribu sama nyolong 30 juta dosanya kan sama aja. Sabar ya, Ling!)
- kartu ATM (udah langsung saya blokir berkat bantuan Thomas dan Septian)
- kartu NPWP (duh, bikin kartu itu dulu penuh perjuangan karena harus ke KPP Bekasi yang rasanya kayak di luar kota saking jauhnya)
- kartu Chatime (penting! poin saya udah banyak dan udah hampir bisa dapet satu gelas Chatime gratis. Hiks!)
- kartu Planet Popcorn (capnya baru satu sih. Relain aja)
- kartu perpustakaan Freedom Institute (udah jarang juga nongkrong di sana)
- rosario hijau (yak, ini lumayan sedih sih soalnya rosarionya cakep)
- voucher taksi Bluebird 3 lembar (buat pergi liputan hari Sabtu. Dan kayaknya harus membatalkan pergi liputan deh)
- baju + celana + pakaian dalem (errr... jangan sampe pas saya belanja awul-awul di Senen, nemu baju-baju saya yang dijual sama si maling)
- kalung (duh, nggak cuma satu tapi banyak. Ada 2 kalung yang baru dibeli dari KaRirong dan belum bayar, ada 1 kalung dari Ratih, ada kalung bentuk buku yang dibeli pas Crafty Days di Bandung, dan berbagai kalung lainnya)
- powerbank (dayanya lumayan besar tapi akhir-akhir ini sering error. Relain aja)
- kartu pers (mak! mesti ganti seratus ribu kalo ngilangin kartu. Duileh kantor saya pelit amat sih)
- buku tabungan (repot ngurusnya sih, tapi sekalian ngurus ATM)
- dompet make up (mana baru beli pelembab dan BB Cream tuh. Bedak juga masih banyak. Sedih!)
- pembalut (baru beli satu pak belum dipake)
- charger batere kamera (gpp deh nanti nyicil beli lagi)
- payung (benda berguna! tapi bisa beli lagi)
- sendok plastik kesayangan (warna hijau dengan bentuk lucu, sendok garpu pisau jadi satu sekaligus. hiks!)

Entah kenapa saya tetap tenang meski sudah kehilangan si ransel hitam. Eh ya mungkin kalau kamera masih ada di dalam tas dan ikut hilang, saya bakalan mencret juga sih. Kamera Canon G12 milik Icha, adik saya. Mesti puasa sebulan kali tuh kalau harus gantiin. Saya juga tenang saat melaporkan kejadian ini ke pos polisi.
Lucunya, malah si pak polisi yang sepertinya panik.

Saya: Pak, mau buat surat keterangan kehilangan, Pak
Polisi 1: Wah, kejadiannya bagaimana Mbak?
Saya: Tas ransel saya hilang di foodcourt.
Polisi 2: Isinya?
Saya: Dompet yang ada KTP dan kartu ATM serta baju-baju.
Polisi 1: Oke, tunggu sebentar ya Mbak.
Polisi 2: Sambil nunggu, Mbak-nya tulis dulu nih di kertas, nama lengkap, tanggal lahir, agama, pekerjaan, alamat rumah, apa saja yang hilang, dan waktu serta tempat kejadian.

Saya pun melakukan apa yang diminta pak polisi lalu menyerahkannya. Tak lama, Polisi 1 datang lagi.

Polisi 1: Jadi yang hilang apa saja Mbak tadi?
Saya: KTP, ATM, dan baju-baju.
Polisi 1: Baik, saya buat ya berita acaranya *siap-siap ngetik* Eh, tunggu, kartu identitas Mbak hilang semua?
Saya: Iya, Pak. Kan hilangnya satu dompet yang berisi semua kartu-kartu saya.
Polisi: Lha, Mbak-nya jadi nggak punya identitas? Terus saya gimana mau isi 'nama' sama 'tempat tanggal lahir' Mbak-nya?
Saya: Hah? Ya kalau nama sama tempat tanggal lahir aja sih saya inget, Pak. Gimana sih, itu kan nama saya. Yang hilang dompet kok, Pak, bukan ingatan saya.

Thomas dan Septian udah getar-getar badannya, ketawa dalam silent mode.

Polisi 2: Ini lho, Mbak-nya udah nulisin di kertas data-datanya. Kamu tinggal ngetik.
Polisi 1: Oooo ya ya..... Jadi, yang kehilangan itu Mbak Giasinta Angguni Pranandhita?
Saya: Iya, Pak.
Polisi 1: *membaca lagi kertas dengan tulisan tangan saya* Lho, lalu Chandra Baru ini siapa?
Saya: Itu alamat rumah saya, Pak. Kan udah saya tulis: alamat chandra baru jalan flamboyan raya.
Polisi: Oh, saya kira nama Mbak-nya.
Saya: Pak, please. Yang kehilangan tuh saya, harusnya saya yang panik. Ini kenapa jadi Bapak yang senewen dan salah-salah melulu.

Thomas dan Septian mulai cuek ketawa ngakak.

Berhubung si pak polisi ngetiknya lama banget, kami pun asyik foto selfie. Hihihihi

Thomas - Septian - Pak Polisi - Korban
(korban perasaan #eh)

Kok saya tidak terlihat sedih? Ya, buat apa? Sedih dan marah tak akan membuat barang-barang saya kembali. Saya begitu liat si ransel nggak ada langsung ikhlas. Hehehe. Cuma ya males aja ngebayangin harus ngurus kartu-kartu itu.

Mungkin saya kurang sedekah ke orang lain yang membutuhkan. Mungkin aja saya menghalangi jalan rejeki orang sehingga apa yang bukan hak saya diambil lagi dengan cara ini. Beruntung saya ditemani dua pria perut buncit tapi kelakuannya sweet. Terima kasih Thomas, terima kasih Septian, upah kalian besar di surga.

Saturday, March 01, 2014

Dear Vic

Saya masih nggak percaya besok kamu nikah. Iyah, besok. Saya cukup banyak tau perjalanan kehidupan percintaan kamu selama ini. Terbang, jatuh, bangun, lari, jatuh lagi, nyusruk, luka dan lecet. Tapi Tuhan tuh manis banget ya. Dia kirimin kamu jodoh yang pas, yang baik, yang perhatian, yang sayang banget sama kamu, yang mengerti passion serta mimpi-mimpimu, yang mau mengenal semua teman-temanmu, yang mau bersusah payah belajar bahasa Indonesia. Aaaahhhh.... aku percaya kalian memang ditakdirkan untuk satu sama lain.

Dulu setiap kali kamu cerita bahwa kamu sedang dekat dengan seorang pria, maka pertanyaan pertama saya selalu: "apakah kamu bahagia sama dia?" Karena memang kebahagiaanmu lah yang utama. Saya nggak peduli apakah pria yang sedang dekat denganmu itu ganteng atau jelek, seiman atau nggak, kaya atau miskin, sejauh kamu bahagia dengannya maka saya pasti selalu mendukung. Dengan pria yang terakhir ini, saya bahkan tidak sempat bertanya apakah kamu bahagia. Karena semua rasa bahagia itu terpancar dari wajahmu, dari ceritamu, dari kemesraan kalian, dari setiap foto-foto kalian. Rasanya tak perlu diragukan lagi bahwa kamu akan bahagia bersamanya. Semoga selalu seperti itu selamanya ya.

Oya masih ingat nggak dulu kita suka ngayal-ngayal. Kalau kamu nikah, kamu nggak mau punya anak karena emang pada dasarnya kamu nggak suka sama anak kecil. Kamu lebih senang punya makhluk-makhluk berbulu seperti anjing dan kucing. Sungguh berkebalikan dengan saya yang sangat suka dengan anak-anak tapi takut kalau harus berhadapan dengan anak-anakmu yang berbulu itu. Maka, kita pun membuat perjanjian: kita akan bertetangga jika sudah menikah nanti. Alasannya? Jika nanti kamu diberi rejeki sama Tuhan untuk punya anak, maka kamu akan menitipkan anakmu untuk saya rawat. Hehehe.

Obrolan lucu-lucuan itu terngiang seminggu terakhir ini. Jadi, selain mendoakan kelancaran  persiapan hari besarmu, saya sekaligus berdoa agar obrolan lucu-lucuan itu dapat terwujud. Pokoknya kita nanti harus bertetangga, entah di Inggris (masih ingat kenapa dulu kita mau ke negara ini? Hehe), di Perancis, maupun di Jogja.

Ah, besok saya pasti nangis kenceng banget pas nikahan kamu. Selain karena saya gembeng, tapi perasaan saya campur aduk. Seneng banget karena kamu akan menikah, terharu karena kamu menemukan pendamping yang tepat, tapi sekaligus sedih karena buat saya tetep aja rasanya berat harus mempercayakan sahabatnya sama orang lain *mimbik-mimbik* Percaya nggak, udah seminggu ini saya nggak bisa tidur. Bawaannya senewen. Yang mau nikah siapa, yang deg-degan siapa. Hihihihi.

Selamat deg-degan dan mempersiapkan diri ya, Vic. Sampai jumpa di hari bahagia :) :) :)

Yang selalu mendoakan kebahagiaanmu,
GONE

Wednesday, January 22, 2014

Tentang Pria Berkemeja Flanel

Saya sedang menghitung sudah berapa kali saya melakukan kebiasaan baru ini: mengikuti misa hari Minggu pukul 7 malam di gereja Keluarga Kudus Rawamangun, duduk di bangku bagian kiri agak ke tengah, dan sesekali mencuri pandang ke arah kiri. Selalu di situ sejak pertengahan November 2013, sejak pertama kali saya menemukanmu. Pria berkemeja flanel lengan panjang yang digulung hingga bagian siku, bercelana jeans, bersepatu converse, memakai jam di tangan kanan, tinggi, proporsional, sedikit brewok (kumis, jambang, dan jenggot), rambut bergelombang agak gondrong, mirip Yesus tapi KW10. Dalam satu kali melihat, hati saya langsung terpikat. Mungkin memang saya menderita Yesus-complex, naksir sama yang mirip-mirip dengan Yesus.


kayak gini kira-kira bentuknya :P

Malam itu, saya misa berdua dengan Widha. Saat sedang menoleh ke kiri, saya melihatmu sedang berkonsentrasi penuh mendengarkan khotbah Romo. Saya terhipnotis beberapa saat tapi kemudian langsung berbisik-bisik dengan Widha: "Ada cowok ganteng di deretan bangku kiri, pake kemeja flanel kotak-kotak." Dan Widha pun sepakat bahwa kamu memang enak dilihat. Fokus saya pun teralih. Bukan lagi pada cerita tentang Yesus yang disampaikan Romo di mimbar. Saya lebih penasaran pada Yesus KW 10 yang jaraknya tak sampai satu meter dari saya. Malam itu, saya berdoa. Doa yang mungkin terlalu polos untuk diucapkan. Doa seperti anak kecil yang berharap bisa mendapatkan mainan impiannya sebagai hadiah Natal. "Tuhan, saya mau yang ganteng berkemeja flanel kotak-kotak itu, masih available nggak ya?". Seusai misa, kamu menghilang dengan cepat. Saya sempat mencarimu di depan gereja. Entah apa tujuannya. Padahal, kalaupun kamu masih ada di sana, saya juga tak akan berani menyapa. Kemudian, saya dan Widha terus membahasmu sepanjang perjalanan pulang. Selama ini jika kami misa di Keluarga Kudus Rawamangun, kami tak pernah melihatmu. Rasanya kamu terlalu indah untuk jadi nyata. Yah, mungkin saja kamu memang jelmaan Yesus yang lagi iseng turun ke dunia.

Minggu berikutnya, saya mencoba peruntungan. Saya datang misa di gereja yang sama, jam yang sama, dan posisi duduk yang sama. Namun, kali ini tanpa ditemani Widha. Sejak awal tiba di gereja, saya sudah menyapukan pandangan ke bagian tempatmu duduk di minggu lalu. Tak ada. Ah, mungkin saya yang terlalu cepat datang. Misa dimulai namun kamu tetap belum tampak. Berkali-kali saya melirik ke sebelah kiri, dan kamu tetap tak ada. Mungkin kamu memang tak nyata. Mungkin benar kamu hanyalah titisan Yesus yang sedang mampir ke dunia. Dan saya memutuskan kembali fokus mengikuti misa. Kali ini saya berdoa: "Tuhan, maaf ya, saya dateng ke misa tapi tujuannya lain, motivasinya beda." Tapi, di tengah misa, Tuhan ternyata memberi kejutan untuk saya. Kamu duduk persis di barisan depan saya. Ya ampun, mungkin karena saya terlalu fokus dengan bangku deretan kiri, saya tidak menyadari bahwa kamu duduk di depan saya sedari tadi. Mungkin juga kamu datang terlambat hari itu. Entahlah. Saya baru menyadarinya di pertengahan misa. Saya pun kirim senyuman paling manis pada salib besar di altar. "Terima kasih hadiahnya, ya Tuhan. Ini rasanya kayak natal yang datang lebih cepat." Sisa misa hari itu saya ikuti sambil cengar-cengir memandangimu dari belakang. Ternyata kamu tinggi sekali. Kali ini kamu misa dengan dua orang teman yang sama-sama berkemeja kotak-kotak. Tibalah waktunya untuk Salam Damai. Hati saya kebat-kebit seperti saat dipanggil interview kerjaan. Sengaja saya menyalami orang-orang lain lebih dulu baru saya menyalamimu. Tangan saya dingin dan berkeringat. Muka saya plongang-plongong bodoh. Mulut saya tak bisa mengucapkan: "Damai Kristus". Pipi saya terasa panas. Saya terhipnotis oleh tatapanmu. Adegan bersalaman itu tak lebih dari tiga detik. Tiga detik yang ingin saya hentikan dan bekukan sehingga bisa saya simpan dalam kotak harta karun saya.

Ah, saya jadi ingat kata-kata Paulo Coelho: Everything that happens once can never happen again. But everything that happens twice will surely happen a third time. Dan memang benar, setelah itu kita cukup sering bertemu. Total sudah tujuh kali. Iya, saya menghitungnya (dan melingkari kalender setiap kali habis bertemu denganmu). Hahahaha saya bahkan bisa mengingat warna baju yang kamu gunakan dari sejak pertemuan pertama hingga ke tujuh. Saya dan kamu selalu duduk di area itu. Tidak persis selalu di bangku yang sama. Tapi cukup bagi saya bisa melihatmu setiap hari Minggu. Meski sering kali saya tersipu ketika tanpa sengaja kamu memergoki saya melihatmu.

Jika ditanya, apakah saya ingin berkenalan denganmu, jawabannya sudah pasti IYA. Tapi saya terlalu cupu. Buat saya cukuplah begini saja sekarang ini. Mengagumimu dari kejauhan. Ini pun rasanya seperti duduk di front row saat menonton fashion show. Dan, jangan kira saya tidak berusaha mencari tahu tentangmu. Setiap kali selesai misa, saya search di twitter dengan keyword: 'gereja keluarga kudus' atau 'keluarga kudus rawamangun' atau 'misa rawamangun' atau 'gereja rawamangun'. Siapa tahu kamu seperti anak muda kebanyakan, yang check-in jika berada di suatu tempat. Atau kamu ngetweet bahwa baru saja selesai misa. Tapi tampaknya ilmu stalking saya masih kurang canggih. Kamu sepertinya tidak termasuk dalam golongan anak muda yang perlu menunjukkan eksistensi di dunia maya. Atau mungkin akunmu digembok sehingga menyulitkan stalker seperti saya untuk mengintipnya.

Hey, tapi saya yakin suatu saat nanti saya pasti bisa berkenalan denganmu. Entah dengan cara apa, entah bagaimana, entah kapan. Semesta pasti punya jalannya.
 

(c)2009 racauan si tukang cerita. Based in Wordpress by wpthemesfree Created by Templates for Blogger