Saturday, June 07, 2014

Dicopet tapi Tetap Bahagia

Baru saja saya mengalami sebuah peristiwa kehilangan. Kehilangan satu tas ransel berisi dompet dan barang-barang lainnya. Lha, kok bisa? Iya memang saya yang ceroboh sepertinya.

Peristiwa ini terjadi di foodcourt Sarinah. Jumat malam sepulang misa Jumat Pertama di gereja Theresia, saya, Septian, dan Ghea makan bareng sembari menunggu kemacetan mereda. Tak berapa lama, Thomas menyusul dan bergabung dengan kami. Berhubung semua membawa tas besar, dan bawaan saya yang paling banyak (satu tas ransel hitam dan sebuah tas kanvas yang juga penuh dengan barang-barang), saya meletakkan kedua tas saya di lantai, persis di sebelah kaki saya. Posisi duduknya adalah: saya bersebelahan dengan Thomas. Ghea persis di seberang saya dan Septian duduk di sebelah Ghea. Sayangnya, kedua tas saya tidak diletakkan di antara saya dan Thomas melainkan di dekat kaki kiri saya.

Kami makan dan ngobrol dengan asyik. Sesekali saya mengecek keberadaan kedua tas saya. Oh, masih aman. Saya sempat mengeluarkan kamera dari ransel hitam untuk memamerkan foto-foto liburan. Lalu, tak lama Ghea pun pamit pulang. Saya, Septian dan Thomas masih asyik melanjutkan obrolan. Si kamera dan MasJinot (smartphone kesayangan saya) ada di atas meja. Di tengah pembicaraan, Thomas meminta kertas dan pulpen. Saya berusaha mengubek-ubek ransel hitam saya tetapi karena terlalu penuh dengan barang, saya tak berhasil menemukan kedua benda tersebut. Septian pun menawarkan kertas dan pulpen miliknya. Pembicaraan berubah makin seru karena Thomas dan Septian mulai membuat coretan di kertas tentang pembicaraan kami. Kemudian, datang seorang bapak petugas cleaning service yang minta ijin membereskan piring-piring dan sisa makanan. Saat itu sudah pukul sembilan malam. Memang, hampir sebagian besar counter makanan telah tutup. Bapak itu berdiri di sebelah Thomas dan Septian (sebelah kanan saya). Kami semua memperhatikan si bapak mengelap meja dan mengangkat piring. Saya tersenyum dan mengatakan: "Terima kasih, Pak."

Lalu, kami melanjutkan obrolan yang tertunda. Saat itulah saya tersadar kalau tas ransel saya tidak ada, sedangkan si tas kanvas masih tergelatak manis. Saya yakin sih si ransel akan langsung raib. Sulit melacaknya apalagi saya tidak memperhatikan sekeliling selama ngobrol dan tidak menaruh curiga pada siapapun. Saya bertanya pada Mbak penjaga counter makanan apakah ada CCTV di area foodcourt, dan dijawab tidak ada. Kami bergegas mencari petugas keamanan yang sayangnya tidak ada di gedung itu. Kami pun keluar dan menghampiri satpam di tempat parkir. Satpam menyarankan untuk melapor ke pos polisi yang lokasinya masih di area Sarinah.

Saya berusaha mengingat-ingat barang apa saja yang ada di dalam ransel. Berhubung Senin - Jumat saya tinggal di rumah tante di Rawamangun, maka jadwal saya setiap Jumat adalah pulang ke Pondok Gede. Tentunya saya membawa pakaian dan berbagai barang printilan lainnya. Jadi, isi ransel saya yang hilang adalah:
- Dompet (isinya cuma 30 ribu, dan kemungkinan si maling bakalan nyesel karena duitnya dikit. Lagian nyolong 30 ribu sama nyolong 30 juta dosanya kan sama aja. Sabar ya, Ling!)
- kartu ATM (udah langsung saya blokir berkat bantuan Thomas dan Septian)
- kartu NPWP (duh, bikin kartu itu dulu penuh perjuangan karena harus ke KPP Bekasi yang rasanya kayak di luar kota saking jauhnya)
- kartu Chatime (penting! poin saya udah banyak dan udah hampir bisa dapet satu gelas Chatime gratis. Hiks!)
- kartu Planet Popcorn (capnya baru satu sih. Relain aja)
- kartu perpustakaan Freedom Institute (udah jarang juga nongkrong di sana)
- rosario hijau (yak, ini lumayan sedih sih soalnya rosarionya cakep)
- voucher taksi Bluebird 3 lembar (buat pergi liputan hari Sabtu. Dan kayaknya harus membatalkan pergi liputan deh)
- baju + celana + pakaian dalem (errr... jangan sampe pas saya belanja awul-awul di Senen, nemu baju-baju saya yang dijual sama si maling)
- kalung (duh, nggak cuma satu tapi banyak. Ada 2 kalung yang baru dibeli dari KaRirong dan belum bayar, ada 1 kalung dari Ratih, ada kalung bentuk buku yang dibeli pas Crafty Days di Bandung, dan berbagai kalung lainnya)
- powerbank (dayanya lumayan besar tapi akhir-akhir ini sering error. Relain aja)
- kartu pers (mak! mesti ganti seratus ribu kalo ngilangin kartu. Duileh kantor saya pelit amat sih)
- buku tabungan (repot ngurusnya sih, tapi sekalian ngurus ATM)
- dompet make up (mana baru beli pelembab dan BB Cream tuh. Bedak juga masih banyak. Sedih!)
- pembalut (baru beli satu pak belum dipake)
- charger batere kamera (gpp deh nanti nyicil beli lagi)
- payung (benda berguna! tapi bisa beli lagi)
- sendok plastik kesayangan (warna hijau dengan bentuk lucu, sendok garpu pisau jadi satu sekaligus. hiks!)

Entah kenapa saya tetap tenang meski sudah kehilangan si ransel hitam. Eh ya mungkin kalau kamera masih ada di dalam tas dan ikut hilang, saya bakalan mencret juga sih. Kamera Canon G12 milik Icha, adik saya. Mesti puasa sebulan kali tuh kalau harus gantiin. Saya juga tenang saat melaporkan kejadian ini ke pos polisi.
Lucunya, malah si pak polisi yang sepertinya panik.

Saya: Pak, mau buat surat keterangan kehilangan, Pak
Polisi 1: Wah, kejadiannya bagaimana Mbak?
Saya: Tas ransel saya hilang di foodcourt.
Polisi 2: Isinya?
Saya: Dompet yang ada KTP dan kartu ATM serta baju-baju.
Polisi 1: Oke, tunggu sebentar ya Mbak.
Polisi 2: Sambil nunggu, Mbak-nya tulis dulu nih di kertas, nama lengkap, tanggal lahir, agama, pekerjaan, alamat rumah, apa saja yang hilang, dan waktu serta tempat kejadian.

Saya pun melakukan apa yang diminta pak polisi lalu menyerahkannya. Tak lama, Polisi 1 datang lagi.

Polisi 1: Jadi yang hilang apa saja Mbak tadi?
Saya: KTP, ATM, dan baju-baju.
Polisi 1: Baik, saya buat ya berita acaranya *siap-siap ngetik* Eh, tunggu, kartu identitas Mbak hilang semua?
Saya: Iya, Pak. Kan hilangnya satu dompet yang berisi semua kartu-kartu saya.
Polisi: Lha, Mbak-nya jadi nggak punya identitas? Terus saya gimana mau isi 'nama' sama 'tempat tanggal lahir' Mbak-nya?
Saya: Hah? Ya kalau nama sama tempat tanggal lahir aja sih saya inget, Pak. Gimana sih, itu kan nama saya. Yang hilang dompet kok, Pak, bukan ingatan saya.

Thomas dan Septian udah getar-getar badannya, ketawa dalam silent mode.

Polisi 2: Ini lho, Mbak-nya udah nulisin di kertas data-datanya. Kamu tinggal ngetik.
Polisi 1: Oooo ya ya..... Jadi, yang kehilangan itu Mbak Giasinta Angguni Pranandhita?
Saya: Iya, Pak.
Polisi 1: *membaca lagi kertas dengan tulisan tangan saya* Lho, lalu Chandra Baru ini siapa?
Saya: Itu alamat rumah saya, Pak. Kan udah saya tulis: alamat chandra baru jalan flamboyan raya.
Polisi: Oh, saya kira nama Mbak-nya.
Saya: Pak, please. Yang kehilangan tuh saya, harusnya saya yang panik. Ini kenapa jadi Bapak yang senewen dan salah-salah melulu.

Thomas dan Septian mulai cuek ketawa ngakak.

Berhubung si pak polisi ngetiknya lama banget, kami pun asyik foto selfie. Hihihihi

Thomas - Septian - Pak Polisi - Korban
(korban perasaan #eh)

Kok saya tidak terlihat sedih? Ya, buat apa? Sedih dan marah tak akan membuat barang-barang saya kembali. Saya begitu liat si ransel nggak ada langsung ikhlas. Hehehe. Cuma ya males aja ngebayangin harus ngurus kartu-kartu itu.

Mungkin saya kurang sedekah ke orang lain yang membutuhkan. Mungkin aja saya menghalangi jalan rejeki orang sehingga apa yang bukan hak saya diambil lagi dengan cara ini. Beruntung saya ditemani dua pria perut buncit tapi kelakuannya sweet. Terima kasih Thomas, terima kasih Septian, upah kalian besar di surga.
 

(c)2009 racauan si tukang cerita. Based in Wordpress by wpthemesfree Created by Templates for Blogger