Wednesday, January 22, 2014

Tentang Pria Berkemeja Flanel

Saya sedang menghitung sudah berapa kali saya melakukan kebiasaan baru ini: mengikuti misa hari Minggu pukul 7 malam di gereja Keluarga Kudus Rawamangun, duduk di bangku bagian kiri agak ke tengah, dan sesekali mencuri pandang ke arah kiri. Selalu di situ sejak pertengahan November 2013, sejak pertama kali saya menemukanmu. Pria berkemeja flanel lengan panjang yang digulung hingga bagian siku, bercelana jeans, bersepatu converse, memakai jam di tangan kanan, tinggi, proporsional, sedikit brewok (kumis, jambang, dan jenggot), rambut bergelombang agak gondrong, mirip Yesus tapi KW10. Dalam satu kali melihat, hati saya langsung terpikat. Mungkin memang saya menderita Yesus-complex, naksir sama yang mirip-mirip dengan Yesus.


kayak gini kira-kira bentuknya :P

Malam itu, saya misa berdua dengan Widha. Saat sedang menoleh ke kiri, saya melihatmu sedang berkonsentrasi penuh mendengarkan khotbah Romo. Saya terhipnotis beberapa saat tapi kemudian langsung berbisik-bisik dengan Widha: "Ada cowok ganteng di deretan bangku kiri, pake kemeja flanel kotak-kotak." Dan Widha pun sepakat bahwa kamu memang enak dilihat. Fokus saya pun teralih. Bukan lagi pada cerita tentang Yesus yang disampaikan Romo di mimbar. Saya lebih penasaran pada Yesus KW 10 yang jaraknya tak sampai satu meter dari saya. Malam itu, saya berdoa. Doa yang mungkin terlalu polos untuk diucapkan. Doa seperti anak kecil yang berharap bisa mendapatkan mainan impiannya sebagai hadiah Natal. "Tuhan, saya mau yang ganteng berkemeja flanel kotak-kotak itu, masih available nggak ya?". Seusai misa, kamu menghilang dengan cepat. Saya sempat mencarimu di depan gereja. Entah apa tujuannya. Padahal, kalaupun kamu masih ada di sana, saya juga tak akan berani menyapa. Kemudian, saya dan Widha terus membahasmu sepanjang perjalanan pulang. Selama ini jika kami misa di Keluarga Kudus Rawamangun, kami tak pernah melihatmu. Rasanya kamu terlalu indah untuk jadi nyata. Yah, mungkin saja kamu memang jelmaan Yesus yang lagi iseng turun ke dunia.

Minggu berikutnya, saya mencoba peruntungan. Saya datang misa di gereja yang sama, jam yang sama, dan posisi duduk yang sama. Namun, kali ini tanpa ditemani Widha. Sejak awal tiba di gereja, saya sudah menyapukan pandangan ke bagian tempatmu duduk di minggu lalu. Tak ada. Ah, mungkin saya yang terlalu cepat datang. Misa dimulai namun kamu tetap belum tampak. Berkali-kali saya melirik ke sebelah kiri, dan kamu tetap tak ada. Mungkin kamu memang tak nyata. Mungkin benar kamu hanyalah titisan Yesus yang sedang mampir ke dunia. Dan saya memutuskan kembali fokus mengikuti misa. Kali ini saya berdoa: "Tuhan, maaf ya, saya dateng ke misa tapi tujuannya lain, motivasinya beda." Tapi, di tengah misa, Tuhan ternyata memberi kejutan untuk saya. Kamu duduk persis di barisan depan saya. Ya ampun, mungkin karena saya terlalu fokus dengan bangku deretan kiri, saya tidak menyadari bahwa kamu duduk di depan saya sedari tadi. Mungkin juga kamu datang terlambat hari itu. Entahlah. Saya baru menyadarinya di pertengahan misa. Saya pun kirim senyuman paling manis pada salib besar di altar. "Terima kasih hadiahnya, ya Tuhan. Ini rasanya kayak natal yang datang lebih cepat." Sisa misa hari itu saya ikuti sambil cengar-cengir memandangimu dari belakang. Ternyata kamu tinggi sekali. Kali ini kamu misa dengan dua orang teman yang sama-sama berkemeja kotak-kotak. Tibalah waktunya untuk Salam Damai. Hati saya kebat-kebit seperti saat dipanggil interview kerjaan. Sengaja saya menyalami orang-orang lain lebih dulu baru saya menyalamimu. Tangan saya dingin dan berkeringat. Muka saya plongang-plongong bodoh. Mulut saya tak bisa mengucapkan: "Damai Kristus". Pipi saya terasa panas. Saya terhipnotis oleh tatapanmu. Adegan bersalaman itu tak lebih dari tiga detik. Tiga detik yang ingin saya hentikan dan bekukan sehingga bisa saya simpan dalam kotak harta karun saya.

Ah, saya jadi ingat kata-kata Paulo Coelho: Everything that happens once can never happen again. But everything that happens twice will surely happen a third time. Dan memang benar, setelah itu kita cukup sering bertemu. Total sudah tujuh kali. Iya, saya menghitungnya (dan melingkari kalender setiap kali habis bertemu denganmu). Hahahaha saya bahkan bisa mengingat warna baju yang kamu gunakan dari sejak pertemuan pertama hingga ke tujuh. Saya dan kamu selalu duduk di area itu. Tidak persis selalu di bangku yang sama. Tapi cukup bagi saya bisa melihatmu setiap hari Minggu. Meski sering kali saya tersipu ketika tanpa sengaja kamu memergoki saya melihatmu.

Jika ditanya, apakah saya ingin berkenalan denganmu, jawabannya sudah pasti IYA. Tapi saya terlalu cupu. Buat saya cukuplah begini saja sekarang ini. Mengagumimu dari kejauhan. Ini pun rasanya seperti duduk di front row saat menonton fashion show. Dan, jangan kira saya tidak berusaha mencari tahu tentangmu. Setiap kali selesai misa, saya search di twitter dengan keyword: 'gereja keluarga kudus' atau 'keluarga kudus rawamangun' atau 'misa rawamangun' atau 'gereja rawamangun'. Siapa tahu kamu seperti anak muda kebanyakan, yang check-in jika berada di suatu tempat. Atau kamu ngetweet bahwa baru saja selesai misa. Tapi tampaknya ilmu stalking saya masih kurang canggih. Kamu sepertinya tidak termasuk dalam golongan anak muda yang perlu menunjukkan eksistensi di dunia maya. Atau mungkin akunmu digembok sehingga menyulitkan stalker seperti saya untuk mengintipnya.

Hey, tapi saya yakin suatu saat nanti saya pasti bisa berkenalan denganmu. Entah dengan cara apa, entah bagaimana, entah kapan. Semesta pasti punya jalannya.
 

(c)2009 racauan si tukang cerita. Based in Wordpress by wpthemesfree Created by Templates for Blogger