Monday, October 21, 2019

Patah Hati Berkali-kali

Sepanjang ingatan saya, sudah tiga kali saya patah hati dengan orang yang sama. Entah karena masokis (senang menyakiti diri sendiri), entah karena saya lebih bodoh dari keledai (karena kejeblos di lubang yang sama tiga kali).

Patah hati pertama berlangsung sekitar tujuh tahun lalu. Saat dia memilih jalan yang sunyi untuk menapaki kehidupan. Saya yang waktu itu menjadi salah satu orang yang cukup dekat dengannya merasa tidak bisa memahami pilihan hidup yang diambilnya.

"Mengapa kamu memilih jalan itu? Mengapa kamu ingin berjalan sendirian? Mengapa kamu menolak kehadiranku untuk menemanimu melangkah? Mengapa kamu mengurung diri dalam tembok yang tinggi dan dingin?" Pikiran-pikiran itu terus berkecamuk saat dia berpamitan di suatu sore.

Padahal jelang seminggu sebelum kepergiannya, kami selalu menghabiskan waktu bersama-sama setiap hari. Semakin dekat, semakin lekat. Meski saya sudah pernah mendapatkan materi mengenai Lepas Bebas, sore itu rasanya gagal untuk bisa merelakannya begitu saja. Saya tak dapat membendung tangis. Saya berjanji untuk mendoakannya meski selalu disertai airmata.

------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Setelah menghabiskan waktu satu bulan di balik tembok yang memisahkan dunianya dengan dunia luar, ia terpaksa harus kembali ke kampung halamannya.

Saya menerima sebuah pesan singkat untuk menemuinya di sebuah convenience store tak jauh dari rumahnya. Tubuhnya begitu kurus, wajahnya begitu sedih, dan berkali-kali ia menarik napas berat. Ia menuturkan kisah bahwa ternyata jalan yang ia pilih justru menyakiti orang-orang terdekatnya, terutama keluarganya. Ia memutuskan pulang demi keluarganya meski ia sendiri masih menyimpan harapan untuk bisa kembali pada pilihannya.

Saya yang waktu itu masih belum pulih benar dari patah hati yang pertama (karena baru sebulan berlalu), mau tak mau tetap mendukung dan menemaninya. Dengan tertatih-tatih, saya kumpulkan serpihan hati saya sembari terus-menerus ada di sampingnya.

Ternyata ini menumbuhkan lagi harapan baru untuk saya. Lima bulan kami menghabiskan waktu bersama-sama. Semakin dekat, semakin lekat. Suatu hari kami berwisata ke luar kota. Sekitar satu minggu kami menikmati perjalanan, naik turun kendaraan umum, tidur dengan menggelar sleeping bag, mandi di tempat-tempat umum, agenda perjalanan yang spontan, bahkan pasrah berjalan kaki di tengah guyuran hujan deras.

Liburan usai, saatnya kembali ke kehidupan nyata. Di awal tahun baru, ia memutuskan ingin memulai kehidupan baru, di kota yang baru. Maka, lagi-lagi kami harus berpisah arah. Saya kembali ke Barat, ia menuju ke Timur.

Saya ingat perjalanan pulang kali itu saya tak berhenti menangis. Saya bahkan enggan makan, enggan masuk kantor keesokan harinya, enggan berbicara dengan siapapun.

Saya merasa ditinggalkan, saya merasa sendirian. Saya patah hati lagi untuk kedua kalinya.

------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Meski demikian, api harapan masih menyala dalam hati saya tiap kali bertemu dengannya. Kami lebih sering bertemu ketika ia mudik ke kampung halamannya.

Sebenarnya sudah beberapa kali saya mengusahakan untuk menemuinya di kota tempat tinggalnya, tetapi keberuntungan belum berpihak pada saya. Entah berapa kali dalam setahun saya melakukan perjalanan dinas ke Timur, tetapi waktunya tidak pernah pas.

Sekitar dua tahun lalu, ketika saya sedang berada pada titik terendah dalam hidup, bingung mau melangkah ke mana, tidak punya pekerjaan, tidak punya penghasilan tetap, saldo tabungan kian menipis, tidak ada satu pun panggilan dari puluhan lamaran pekerjaan yang sudah saya kirim, dia menghibur dan menenangkan saya.

Bahkan sebuah kalimat yang tidak akan saya lupa: "Pindah sini aja yuk, temani saya di sini" langsung membuat saya terlena. Saya mencoba menimbang-nimbang segala kemungkinan untuk pindah ke kotanya.

Namun, Tuhan mungkin terlalu sayang sama saya. Sebelum saya membuat keputusan bodoh untuk pindah, dia lagi-lagi menghancurkan hati saya. Dalam sebuah obrolan, tiba-tiba tercetus bahwa dia akan mudik seminggu ke kampung halamannya. Tapi mudik kali ini berbeda.

Dia akan membawa kekasih hatinya. Kekasih yang telah bersamanya sejak ia memulai kehidupan baru di kotanya. Kekasih yang tak satu kali pun ia ceritakan pada saya. Kekasih yang mungkin jadi alasan mengapa saya tak pernah berhasil menemuinya saat melakukan perjalanan dinas ke kotanya.

Airmata saya tidak berhenti mengalir. Segala perasaan yang selama ini saya pendam untuknya, segala harapan yang selama ini tumbuh subur di hati saya, tiba-tiba berubah menjadi amarah.

Hubungan kami merenggang. Saya memilih untuk menjauh. Dia bukan lagi orang pertama yang saya ceritakan tentang kejadian-kejadian penting dalam hidup. Mungkin dia sadar bahwa saya berubah, mungkin juga tidak.

Dua tahun ini, saya terus menjaga jarak dengannya. Dua tahun ini saya selalu mencari-cari alasan untuk menolak menemuinya tiap kali ia mudik. Dua tahun ini saya menjawab pesannya dengan dingin dan ogah-ogahan.

Patah hati yang ketiga ini jadi patah hati terberat. Meski sudah dua kali patah hati sebelumnya, bukan berarti saya jadi lebih mudah melewatinya.

Saat ia mengirimkan undangan pernikahan, saya seharusnya sudah bisa memprediksinya sejak dua tahun lalu. Tetapi tetap saja airmata mengalir deras sampai hari ini.



------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Seorang teman pernah menasehati:

"Mungkin tugas kalian untuk saling menemani sudah selesai. Kamu sudah membantu dia, dan dia pun sudah membantu kamu. Kini saatnya melepas. Berani jatuh cinta, maka juga harus berani melepas. Semoga kamu bisa melepasnya dengan baik dan memberkatinya dengan kehidupan barunya."

Mungkin sekarang saya belum bisa mendoakannya seperti dulu. Mungkin sekarang saya perlu untuk mendoakan diri saya sendiri supaya bisa mengikhlaskannya. Mungkin yang pertama-tama perlu saya lakukan adalah berdamai dengan diri saya sendiri.


0 kicauan:

 

(c)2009 racauan si tukang cerita. Based in Wordpress by wpthemesfree Created by Templates for Blogger