Saya mengalami beberapa peristiwa kehilangan dalam waktu yang berdekatan. Pertama kehilangan kartu ATM yang berujung pada hilangnya seluruh isi rekening saya. Gaji saya satu bulan lenyap tak berbekas (eh ada sisa 61 ribu sih. Buat yang ngambil, makasih ya udah disisain :D ). Kedua kehilangan handphone. Semua peristiwa tersebut terjadi karena kecerobohan saya. Dalam suatu kepanitiaan, rekening saya sempat digunakan untuk menyimpan uang dari acara tersebut. Saya sempat mempercayakan kartu dan PIN saya pada tiga orang dalam kepanitiaan tersebut. Saya ceroboh karena mungkin saja ada orang lain lagi yang ikut mendengar saat saya membisikkan PIN saya. Saya ceroboh karena tidak menyimpan dengan benar kartu ATM saya setelah dikembalikan oleh teman saya. Sedangkan untuk urusan handphone, saya ceroboh karena tidak mengecek kembali barangbarang saya saat akan turun dari mobil teman.
Kehilangan seluruh gaji saya selama sebulan tentu membuat saya bangkrut untuk sebulan ke depan. Kehilangan handphone membuat saya menjadi sulit untuk dihubungi. Tetapi apakah ada perasaan menyesal?
Tidak. Tidak sedikitpun.
Sedih? Mungkin iya, sedikit sedih.
Bukan sedih karena memikirkan nasib saya sebulan ke depan. Bukan sedih karena handphone yang hilang adalah handphone kesayangan yang sudah tiga tahun menemani.
Sedih melihat reaksi spontan orangorang terdekat saya, orangorang yang paling saya sayangi. Mereka marah dan menuduh tiga teman saya yang mengetahui PIN ATM saya. Ya saya tahu. Ini karena mereka sangat mencintai saya. Dan reaksi spontan mereka adalah bentuk kepedulian mereka terhadap saya.
Tapi sedikitpun tak pernah terlintas di benak saya untuk menyalahkan tiga teman saya. Saya sangat mempercayai mereka bertiga. Dan saya tahu kemampuan finansial mereka. Saya yakin mereka bertiga tidak sudi repotrepot berbuat dosa mengambil gaji satu bulan seorang guru preschool yang tidak seberapa. Kalau memang ada yang harus disalahkan, tentu saja orangnya adalah saya.
Saya berusaha merefleksikan semua peristiwa kehilangan tersebut. Mungkin Tuhan ingin agar saya belajar melepaskan keterikatan pada halhal duniawi. Keterikatan saya pada handphone saya sangat besar. Apalagi umur si handphone sudah tiga tahun. Saya hampir tidak bisa lepas dari si handphone barang sekejap. Seperti ada lemnya, si handphone terus melekat di tangan saya.
Mungkin Tuhan juga ingin saya lebih menghargai setiap rupiah yang saya hasilkan dari keringat saya untuk halhal yang lebih berguna. Mungkin memang orang yang mengambil lebih membutuhkan uang tersebut.
Dan karena semua peristiwa itu terjadi tepat sebelum Rabu Abu, saya jadi menyadari sesuatu. Mungkin Tuhan ingin agar saya memasuki masa pra Paskah dengan lebih sungguh. Mungkin Tuhan ingin agar saya benarbenar menghayati masa pertobatan ini. Tanpa handphone, tanpa uang, mungkin masa pra Paskah saya kali ini akan benarbenar berbeda.
Saya mensyukuri sesuatu atas peristiwa kehilangan ini. Saya bersyukur, meski saya kehilangan handphone dan uang, tetapi saya tidak kehilangan kepercayaan, tidak kehilangan iman akan Tuhan. Saya percaya rejeki setiap orang diatur sama Tuhan. Bagaimana saya bisa bertahan hidup selama satu bulan ke depan, saya pasrahkan pada Tuhan. Burung pipit yang kecil aja dikasihi Tuhan. Apalagi saya yang gendut ini, hehehehe, Tuhan pasti tidak akan melewatkan saya begitu saja.
Selamat Rabu Abu, kawan. Selamat berpantang dan berpuasa. Selamat menjalani masa pertobatan ini.
0 kicauan:
Post a Comment