Tuesday, October 20, 2020

Sanggupkah Kamu Berjaga Bersama-Ku Satu Jam Saja?

Wow, sudah 7 bulan #dirumahaja karena pandemi Covid-19. Gimana kabarnya? 


Saya sejak 17 Maret sampe hari ini full Work From Home. Eh sebulan pertama sempet Work From Kosan sih karena karantina mandiri, takut nularin orang rumah kalo pulang. Akhir April, setelah dirasa aman, saya pun memberanikan diri cabut dari kosan dan balik ke rumah orangtua. 

Awal-awal pandemi, saya mencoba tetap melakukan rutinitas. Ada beberapa hal baru yang saya lakukan di masa pandemi, tapi sebisa mungkin saya mencoba hidup teratur. 

Pagi bangun jam 5, cuci muka sikat gigi, lanjut misa harian online jam 5.30. Abis selesai misa, saya jalan kaki keliling komplek, biar badan bergerak sekaligus kena matahari pagi. Sekitar 30-45 menit kemudian saya pulang lalu mandi. Terus presensi online, bikin smoothies buat sarapan, lalu mulai kerja. 

Sesekali janjian zoom call sama teman-teman, sekadar update kabar. Untuk melepas lelah setelah kerja, biasanya saya pilih untuk nonton film maupun pertunjukkan teater online, baca buku, main sama ponakan, atau bercocok tanam hidroponik. 

Selain misa harian, saya juga ikut misa online hari Minggu. Kok rajin banget sampe misa harian segala? Buat saya, misa jadi salah satu pegangan karena keadaan pandemi yang serba tak pasti. Selain itu, saya seneng bisa pindah-pindah lokasi misa online dengan mudah. Hari ini misa di gereja Theresia Jakarta, minggu depan di gereja Theresia Bongsari Semarang. 

Semua terasa normal-normal saja. Sampai suatu hari, sekitar 3 bulan lalu, saya merasakan kekosongan yang aneh. Saya tidak lagi bersemangat mengikuti misa online (baik itu misa harian maupun mingguan), saya tak lagi merasa terhibur dengan pertunjukkan online maupun film, saya bahkan menolak ajakan zoom call dari teman-teman. Beberapa webinar yang rencananya akan saya ikuti pun akhirnya saya batalkan. 

Saya hanya conference call kalau ada meeting kantor (atau side job hehehe). Saya pelan-pelan menarik diri. Tampaknya saya mengalami apa yang disebut online fatigue alias kelelahan virtual. 

----------

Sebelum pandemi, buat saya misa atau ekaristi menjadi sebuah undangan 'kencan' dari Tuhan untuk merayakan kasihNya. Bayangin kalau kamu diajak nge-date sama orang yang kamu sayang. Pasti rasanya berbunga-bunga kan? Pasti semangat mikirin mau pakai baju apa, mau ketemu jam berapa, mau ketemu di mana, kira-kira bakalan ngobrolin apa, belum lagi jadi senyum-senyum terus menuju hari H. Persis kayak gitu yang saya rasakan setiap kali akan mengikuti misa di gereja.


Waktu mulai misa online, saya selalu nangis tiap kali komuni batin. Bayangin aja kayak lagi LDR sama pasangan, ga bisa ketemu, terus rindu banget sampe nangis. Eh apalagi komuni batin juga ada lagunya kan tuh. Bagus banget. Saya jadi mewek kalau denger lagunya.




Sayangnya semua itu pelan-pelan berubah. Misa online buat saya tak lebih semacam nonton series di Netflix atau Disney+. Saya hanya jadi penonton, saya tidak lagi terlibat. Kalau sudah berlangganan Netflix, kita jadi bisa nentuin kapan kita mau nonton, dan semuanya jadi tergantung sama jadwal kita. Kalau lagi sempet ya nonton, kalau nggak yaudah toh masih bisa minggu depan. 

Saya menjadi berjarak dengan Dia, Sang Kekasih Jiwa. Saya yang tadinya rajin misa harian, akhirnya cuma misa hari Minggu.

Misa online jadi terasa hambar, homili lewat begitu saja. Sehabis misa, yang muncul hanya rasa tidak nyaman. Bahkan pernah, saya memutuskan menyudahi misa online padahal belum selesai karena rasa tidak nyaman itu begitu mengganggu. Kemudian, saya jadi sama sekali tidak ikut misa di minggu-minggu berikutnya.

Dengan sotoy saya berpikir: ah palingan Tuhan juga paham, kan lagi pandemi gini. Gapapa kali kalau nggak misa (situ siapaaaa mulai ngatur-ngatur Tuhan heeeeyyy).

Tidak terasa, sudah 3 bulan saya tidak pernah lagi ikut misa online. Lalu kemarin, saya akhirnya mencoba misa online lagi. Saya pilih ikut di gereja Theresia, Menteng, Jakarta hari Minggu jam 19.00. Gereja Theresia ini salah satu sanctuary buat saya tiap kali pikiran saya lagi kacau dan butuh jeda sejenak. Lokasinya deket banget sama kantor, tinggal jalan kaki 5 menit. Jadi waktu liat gereja Theresia lagi di layar laptop, saya sedikit terharu.

Sebelum misa, saya berdoa minta diberi petunjuk, diberi peneguhan, diberi undangan atau entah apa namanya, supaya semangat mengikuti ekaristi balik lagi. Sepanjang misa saya sibuk menerka-nerka, sibuk mencari-cari. Nggak ada. Nggak ada tanda apa pun. Bahkan dari homili juga ga ada sesuatu. Dont get me wrong. Bukan khotbahnya yang jelek, hanya saya aja yang kondisi batinnya sedang tidak baik-baik saja. Perasaan tidak nyaman masih terus muncul.

Sampai hari ini, tiba-tiba seorang teman baik memberi reaction atas postingan IG story yang bilang bahwa saya akhirnya insyaf ikut misa lagi setelah 3 bulan. Saya pun langsung curhat panjang lebar sama dia mengenai kegundahan hati saya selama ini. Jawaban dari teman baik saya tetap kurang memuaskan buat saya. Saya sedikit berharap ada kata-kata peneguhan supaya saya kembali semangat mengikuti ekaristi. 

Lalu, obrolan kami mulai pindah topik. Saling menanyakan kabar, curhat ini itu. Saat saya sedang menceritakan kabar saya dan kesibukan akhir-akhir ini, jawaban dari teman baik saya ini sungguh tidak disangka-sangka dan membuat saya diam cukup lama. Kira-kira temen baik saya bilang begini: "Gue membayangkan Yesus sendiri yang ngomong sama lo: Angguni, sanggupkah engkau berjaga bersamaku satu jam saja? waktu Yesus lagi mau berdoa di Taman Getsemani sebelum akhirnya ditangkap dan diadili." 

DUAAAARRRR!!!!
Sebagai manusia yang tubuhnya terdiri dari 50% lemak dan 50% air mata, saya langsung nangis ga karuan. Padahal teman baik saya menjawab itu untuk merespons kisah saya yang lain, bukan soal misa online. Tapi buat saya ini cara Dia menyapa saya. Menanyakan apakah saya sanggup untuk berjaga satu jam aja nemenin Dia yang sedang berdoa kepada Bapa dengan penuh ketakutan. Saya membayangkan kalau orang yang saya sayang meminta saya untuk nemenin dia selama satu jam karena mungkin sedang ketakutan, pasti saya langsung mau nemenin.

Saya tuh dikasih banyaaaaakkk banget sama Tuhan, dikasih keluarga, dikasih teman-teman, dikasih pekerjaan, dikasih tubuh yang sehat, dikasih waktu yang cukup untuk melakukan banyak hal, tapi kenapa ngeluangin satu jam aja kok ga sanggup. Satu jam seminggu sekali. 

Saya suka nggak habis pikir. Saya nih siapa sih, kok segitunya Tuhan sayang banget sama saya. CintaNya selalu luber-luber dicurahkan ke saya. CintaNya selalu lupa takaran. Bahkan ketika saya mungkin lagi merasa nggak mau misa, nggak mau ketemu Dia, nggak mau ngobrol, Dia tetep setia nungguin saya, dan ngirim "penolong" yaitu lewat teman saya.

Sejujurnya, refleksi teman saya mengenai berjaga bersama Dia satu jam saja di Taman Getsemani sudah pernah saya dengar sebelumnya. Kali ini saya mendengarnya lagi dan merasa bahwa Dia selalu punya cara menyapa saya yang sering kehilangan arah. Seperti kata Father James Martin, SJ: God meets you where you are. Dia menyapa saya lewat teman baik saya.

:)

Monday, October 21, 2019

Patah Hati Berkali-kali

Sepanjang ingatan saya, sudah tiga kali saya patah hati dengan orang yang sama. Entah karena masokis (senang menyakiti diri sendiri), entah karena saya lebih bodoh dari keledai (karena kejeblos di lubang yang sama tiga kali).

Patah hati pertama berlangsung sekitar tujuh tahun lalu. Saat dia memilih jalan yang sunyi untuk menapaki kehidupan. Saya yang waktu itu menjadi salah satu orang yang cukup dekat dengannya merasa tidak bisa memahami pilihan hidup yang diambilnya.

"Mengapa kamu memilih jalan itu? Mengapa kamu ingin berjalan sendirian? Mengapa kamu menolak kehadiranku untuk menemanimu melangkah? Mengapa kamu mengurung diri dalam tembok yang tinggi dan dingin?" Pikiran-pikiran itu terus berkecamuk saat dia berpamitan di suatu sore.

Padahal jelang seminggu sebelum kepergiannya, kami selalu menghabiskan waktu bersama-sama setiap hari. Semakin dekat, semakin lekat. Meski saya sudah pernah mendapatkan materi mengenai Lepas Bebas, sore itu rasanya gagal untuk bisa merelakannya begitu saja. Saya tak dapat membendung tangis. Saya berjanji untuk mendoakannya meski selalu disertai airmata.

------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Setelah menghabiskan waktu satu bulan di balik tembok yang memisahkan dunianya dengan dunia luar, ia terpaksa harus kembali ke kampung halamannya.

Saya menerima sebuah pesan singkat untuk menemuinya di sebuah convenience store tak jauh dari rumahnya. Tubuhnya begitu kurus, wajahnya begitu sedih, dan berkali-kali ia menarik napas berat. Ia menuturkan kisah bahwa ternyata jalan yang ia pilih justru menyakiti orang-orang terdekatnya, terutama keluarganya. Ia memutuskan pulang demi keluarganya meski ia sendiri masih menyimpan harapan untuk bisa kembali pada pilihannya.

Saya yang waktu itu masih belum pulih benar dari patah hati yang pertama (karena baru sebulan berlalu), mau tak mau tetap mendukung dan menemaninya. Dengan tertatih-tatih, saya kumpulkan serpihan hati saya sembari terus-menerus ada di sampingnya.

Ternyata ini menumbuhkan lagi harapan baru untuk saya. Lima bulan kami menghabiskan waktu bersama-sama. Semakin dekat, semakin lekat. Suatu hari kami berwisata ke luar kota. Sekitar satu minggu kami menikmati perjalanan, naik turun kendaraan umum, tidur dengan menggelar sleeping bag, mandi di tempat-tempat umum, agenda perjalanan yang spontan, bahkan pasrah berjalan kaki di tengah guyuran hujan deras.

Liburan usai, saatnya kembali ke kehidupan nyata. Di awal tahun baru, ia memutuskan ingin memulai kehidupan baru, di kota yang baru. Maka, lagi-lagi kami harus berpisah arah. Saya kembali ke Barat, ia menuju ke Timur.

Saya ingat perjalanan pulang kali itu saya tak berhenti menangis. Saya bahkan enggan makan, enggan masuk kantor keesokan harinya, enggan berbicara dengan siapapun.

Saya merasa ditinggalkan, saya merasa sendirian. Saya patah hati lagi untuk kedua kalinya.

------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Meski demikian, api harapan masih menyala dalam hati saya tiap kali bertemu dengannya. Kami lebih sering bertemu ketika ia mudik ke kampung halamannya.

Sebenarnya sudah beberapa kali saya mengusahakan untuk menemuinya di kota tempat tinggalnya, tetapi keberuntungan belum berpihak pada saya. Entah berapa kali dalam setahun saya melakukan perjalanan dinas ke Timur, tetapi waktunya tidak pernah pas.

Sekitar dua tahun lalu, ketika saya sedang berada pada titik terendah dalam hidup, bingung mau melangkah ke mana, tidak punya pekerjaan, tidak punya penghasilan tetap, saldo tabungan kian menipis, tidak ada satu pun panggilan dari puluhan lamaran pekerjaan yang sudah saya kirim, dia menghibur dan menenangkan saya.

Bahkan sebuah kalimat yang tidak akan saya lupa: "Pindah sini aja yuk, temani saya di sini" langsung membuat saya terlena. Saya mencoba menimbang-nimbang segala kemungkinan untuk pindah ke kotanya.

Namun, Tuhan mungkin terlalu sayang sama saya. Sebelum saya membuat keputusan bodoh untuk pindah, dia lagi-lagi menghancurkan hati saya. Dalam sebuah obrolan, tiba-tiba tercetus bahwa dia akan mudik seminggu ke kampung halamannya. Tapi mudik kali ini berbeda.

Dia akan membawa kekasih hatinya. Kekasih yang telah bersamanya sejak ia memulai kehidupan baru di kotanya. Kekasih yang tak satu kali pun ia ceritakan pada saya. Kekasih yang mungkin jadi alasan mengapa saya tak pernah berhasil menemuinya saat melakukan perjalanan dinas ke kotanya.

Airmata saya tidak berhenti mengalir. Segala perasaan yang selama ini saya pendam untuknya, segala harapan yang selama ini tumbuh subur di hati saya, tiba-tiba berubah menjadi amarah.

Hubungan kami merenggang. Saya memilih untuk menjauh. Dia bukan lagi orang pertama yang saya ceritakan tentang kejadian-kejadian penting dalam hidup. Mungkin dia sadar bahwa saya berubah, mungkin juga tidak.

Dua tahun ini, saya terus menjaga jarak dengannya. Dua tahun ini saya selalu mencari-cari alasan untuk menolak menemuinya tiap kali ia mudik. Dua tahun ini saya menjawab pesannya dengan dingin dan ogah-ogahan.

Patah hati yang ketiga ini jadi patah hati terberat. Meski sudah dua kali patah hati sebelumnya, bukan berarti saya jadi lebih mudah melewatinya.

Saat ia mengirimkan undangan pernikahan, saya seharusnya sudah bisa memprediksinya sejak dua tahun lalu. Tetapi tetap saja airmata mengalir deras sampai hari ini.



------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Seorang teman pernah menasehati:

"Mungkin tugas kalian untuk saling menemani sudah selesai. Kamu sudah membantu dia, dan dia pun sudah membantu kamu. Kini saatnya melepas. Berani jatuh cinta, maka juga harus berani melepas. Semoga kamu bisa melepasnya dengan baik dan memberkatinya dengan kehidupan barunya."

Mungkin sekarang saya belum bisa mendoakannya seperti dulu. Mungkin sekarang saya perlu untuk mendoakan diri saya sendiri supaya bisa mengikhlaskannya. Mungkin yang pertama-tama perlu saya lakukan adalah berdamai dengan diri saya sendiri.


Kilas Balik

Kalau diingat-ingat, awal mula saya bikin blog ini adalah untuk 'memuntahkan' segala pikiran dan perasaan karena ketika itu saya sedang patah hati. Saya selalu percaya bahwa menulis dapat menyembuhkan.

Hari ini, sembilan tahun kemudian, ketika saya mengalami patah hati lagi (dengan orang yang berbeda tentunya), saya membuka-buka semua racauan-racauan saya selama ini.

Lucu rasanya melihat bagaimana saya berhasil sampai pada titik yang sekarang, setelah melewati pengalaman-pengalaman yang kala itu membuat saya hancur dan merasa berada di titik terendah.

Ternyata selalu ada yang bisa disyukuri dari pengalaman sedih dan terluka. Ternyata saya begitu dicintai olehNya, Sang Pemberi Kehidupan, lewat orang-orang yang dikirimkan untuk menemani saya melewati momen-momen patah hati. Ternyata penting untuk mendokumentasikan pengalaman patah hati supaya saya berani untuk terus melangkah.

Maka, mulai hari ini saya putuskan untuk mulai meracau lagi di sini, untuk mengeluarkan keruwetan yang ada di kepala, untuk merayakan patah hati saya (entah yang ke berapa kali), sambil pelan-pelan menerimanya dan kemudian melanjutkan hidup.

Semoga saya bisa bersabar melewati proses yang menyakitkan ini.


Friday, February 15, 2019

Tuhan Maha Romantis

Sejujurnya saya nggak inget kalau hari ini Valentine. Sampai pas di kantor, BuBoss bagi-bagi roti rasa kopi dengan ucapan:

Here's to many more Valentine's Day

Sayang saya nggak sempet fotoin. Saya cuma bisa bersyukur karena lagi laper belom sarapan. Lumayan dapet roti rasa kopi buat ngeganjel perut sampai jam makan siang.

Pulang kantor, saya berniat ke gereja Theresia. Soalnya kantor baru lokasinya deket banget, tinggal jalan kaki lima menit ke gereja. Ini kali kedua saya mampir setelah pindah ke kantor baru.

Saya datang dengan keluh kesah. Kebiasaan memang, baru dateng ke Tuhan kalau punya masalah. Kalau lagi seneng, yaelah mana inget.

Baru seminggu saya pindah ke kantor baru, saya masih #belummoveon dari kantor sebelumnya. Masih suka banding-bandingin yang baru sama si mantan.

Entahlah, saya merasa kurang diterima di tempat yang baru. Apalagi kantor baru dan kantor lama ini berbeda 180 derajat. Meski jenis pekerjaannya masih mirip-mirip, tapi banyak hal yang justru sangat berkebalikan. Misalnya soal jam kerja, kedisiplinan, kerapian berpakaian, pola komunikasi dengan atasan, dll. Bahkan di kantor baru ini, saya takut sekali untuk makan camilan sambil kerja. Sungguh terbalik dengan di kantor lama di mana saya punya sobat jajan sore yang setiap jam 4 tak pernah absen ngajak turun jajan.

Saya selalu becanda bilang: "wajar, belum 40 hari, masih suka gentayangan." Dan saya selalu membesarkan hati bahwa mungkin perasaan ini muncul karena saya belum terbiasa saja. Lagian ini baru seminggu, kok udah mau nyerah sih Gon?

Mau cerita ke Mba Petty, kok rasanya malu. Pasti diledek suruh balik aja. Pas masih di kantor lama, temen-temen saya selalu bilang: "Ah kamu cuma sabbatical leave, bukan resign. Nanti juga 6 bulan balik lagi." HEY... SAYA BELUM PINDAH AJA UDAH DISUMPAHIN BALIK HEEEEYYYY!!!

Mau cerita ke temen di kantor baru, kok rasanya nggak enak hati.

Mau cerita ke Chika, roommate saya di kosan, tapi dia juga lagi punya banyak banget hal yang harus dipikirkan mulai dari kerjaan, kuliah, dan juga keluarga. Rasa-rasanya kok nggak tega harus nambahin lagi dengan masalah saya.

Mau cerita ke orang-orang terdekat saya (sebut saja Vic, Dian, Moncil, Febby, Rere, Widha, dll - memang nama sebenarnya), kok ya kesannya saya ini mengeluh terus, nggak ada bersyukurnya.

Kayaknya memang tempat paling tepat untuk berkeluh-kesah adalah ke Tuhan. Maka, tidak heran sampai di gereja saya langsung curhat macem-macem. Saya ceritain semua kegundahan saya.

"Tuhan, apakah jalan yang saya pilih ini sudah tepat? Apakah saya cuma mencari 'pelarian' saja? Apakah saya berguna bagi banyak orang dengan melakukan pekerjaan ini? Tuhan, saya tuh banyak ngeluhnya ya? Kemaren-kemaren bilang mau cari kerjaan yang lebih baik (secara finansial). Giliran dapet, ngeluh kurang ini itu. Blablablabla..."

Saya ngeluhnya panjang banget. Tanpa sadar airmata netes. Buru-buru saya lap pake tangan. Khawatir kalo sampe diliat orang.

Kemudian misa pun dimulai. Bacaannya sih dari kitab Kejadian yang biasanya suka dipilih sebagai bacaan kalo misa kawinan (udah hafal banget saking seringnya jadi lektris kalo temen nikah). "Tidak baik kalau manusia seorang diri saja. Aku akan menjadikan penolong yang sepadan dengan dia."

Dalam keadaan normal (nggak bleweran airmata dan ingus), mungkin saya udah celingukan nyari "penolong" yang dimaksudkan Tuhan. Hehehehehe. Tapi dalam keadaan abis curhat, masih galau, masih sedih, saya cuma bisa tarik napas lalu airmatanya berjatuhan lagi.

Saya lupa bacaan Injil nya tentang apa. Soalnya udah terlalu sibuk ngelapin airmata sama ingus hehehe.

Nah pas khotbah, Romo Bei ngebahas soal Yesus yang nggak diterima di kota asalnya. Serigala punya liang dan burung punya sarang, tapi Anak Manusia tidak punya tempat untuk meletakkan kepalaNya.

DEG! Langsung berasa ketampar loh. Saya baru seminggu di kantor baru, udah berasa nggak nyaman, udah berasa ga diterima. Halooohhh... apa kabar nih Yesus yang ga diterima dan ga dihormati di kampungnya sendiri. Huhuhuhu nangisnya makin brutal dong pas denger khotbah.

Lalu setelah komuni, Romo Bei menutup doanya dengan: Jangan takut, Aku menyertai engkau sampai selama-lamanya.

AMBYAAARRR PEMIRSAAAAA...
Sungguh pesan Valentine yang NYES sekali!

Tuhan tuh romantis. BANGET. Saya nggak dikasih cokelat, nggak dikasih kembang, tapi dikasih sesuatu yang sedang saya butuhkan saat ini. Sesuatu yang menguatkan saya untuk menjalani hari-hari di kantor baru.

Seperti yang selalu diulang oleh Vic mengutip dari tulisan Father James Martin yang juga mengutip kata-kata seorang Jesuit bernama David Donovan: God meets you where you are.

Tuhan nih tau banget apa yang saya lagi perlu denger. Sebagai orang yang love language nya Words of Affirmation (sebenernya love language pertama sih Quality Time, kedua baru Words of Affirmation), disapa begini sama Tuhan langsung klepek-klepek.

Kamu sendiri pernah ga sih disapa Tuhan dengan cara yang manis?

Thursday, August 23, 2018

Ovarium Membuncah Bahagia

Disclaimer: Bakal ngebahas soal menstruasi tapi dengan gaya saya. Kalau merasa pembahasan ini tabu atau menjijikan, tak usah dibaca hehehehe.

Mungkin circle terdekat saya udah pada tau gimana ngaconya jadwal menstruasi saya selama ini. Terakhir menstruasi yang lumayan teratur (sebulan sekali) itu di 2016. Sepanjang 2017, hanya mens 5x dalam setahun. Lalu, terakhir mens di November 2017 dan belum mens lagi sepanjang 2018.

Saking ga teraturnya jadwal mens saya, saya jadi punya kebiasaan nyatet di aplikasi Period Tracker

Dulu juga pernah nggak teratur kayak gini, jaman-jaman kuliah semester 2 atau 3. Saya nggak mens selama 5 bulan. Ibu saya yang khawatir dengan kondisi ini langsung menyeret saya ke dokter kandungan.

Pas lagi ngantri di dokter kandungan, banyak pasangan yang mau periksa kehamilan. Sambil nunggu, saya bisik-bisik ke ibu saya, "Mah, mamah jangan mengira di dalem sini ada kehidupan ya" *sambil usap-usap perut*
Ibu saya langsung nyamber: "Yeeee... pacar aja nggak punya!"
Sebuah jawaban telak yang cukup menyakitkan, pemirsaaaa.... eh tapi kalo dipikir, ibu saya gimana deh, kalo ada pacar kan justru ada yang bisa dimintain pertanggungjawaban, lha kalo ga ada pacar, sapa yang mau tanggung jawab??? Masa roh kudus? Heeeyyyyy,,, kamu bukan Bunda Maria! *dihujat netijen*

Nah, ketika itu dokter melakukan USG dan katanya nggak ada yang aneh-aneh di rahim saya. Tapi saya diresepin obat. Pertama, obat buat 'mancing' yang harus diminum sampe saya mens. Waktu itu saya minum tiap hari selama 3 hari, dan voila... akhirnya saya mens deh. Lalu, saat mens hari pertama, saya disuruh minum pil KB. Iya, pil KB yang biasa diminum untuk mengatur jarak kehamilan itu.
Katanya, menstruasi saya nggak lancar karena hormon ga seimbang, dan kandungan dalam pil KB bisa membantu menstabilkan hormon. Ketika itu saya masih begitu hijau dan polos, jadi ya nurut aja apa kata dokter. Saya minum deh tuh pil KB selama sebulan. Ribet banget cuy minum pil KB itu, ada aturannya, mesti tepat waktu di jam yang sama setiap hari. Yaelah, saya ini kan ngawur banget ya hidupnya, napas aja kadang lupa, eh disuruh minum pil KB yang banyak aturan kayak pacar posesif. Setengah mati berusaha menghabiskan pil KB itu pokoknya.

Terus bulan berikutnya mens dengan lancar? ENGGAK!
Terus balik lagi ke dokter? MALES!

Yaaaa pasti dikasih obat ini itu lagi. Disuruh ngulang minum pil KB lagi? Tidak terima kasih. Ribet banget woy!

Okeh itu cerita dulu waktu masih kuliah. Fast forward ya ke masa sekarang. Terakhir mens di November 2017 adalah masa paling lama untuk saya tidak mens. Tiap bulan saya deg-degan, kira-kira saya bakal mens ga ya bulan ini?

Masalahnya, tiap bulan saya ngerasain PMS (Pre-Menstrual Syndrome, bukan Penyakit Menular Seksual), ya nyeri di perut bagian bawah, ya mood swing, ya tulang2 linu ga jelas, tapiiii... ga  ada darah yang mengalir. Kan sebel yak, tiap bulan ngerasain sakitnya doang.

Lalu, saya mulai cari tahu kenapa sih sebenernya saya bisa sampe nggak mens lama banget. Oh, saya tuh lebih suka ikutan kelas self healing, pake essential oils, meditasi, grounding, jadi vegetarian, dsbnya, dibanding ke dokter dan minum obat (monmaap bagi para dokter di luar sana). Saya cuma nggak mau terus-terusan minum obat. Saya harus bisa nyembuhin diri saya sendiri. *kemudian ada netijen yang berkomentar: emang situ dukun? emang apa salahnya minum obat? HEY JANGAN NGATUR!*

Singkat cerita, saya sadar permasalahan tidak mens ini karena hormon, bukan karena ada kista atau apa lah gitu di rahim atau indung telur saya. Saya cari tau gimana sih cara nya nyeimbangin hormon dengan alami.

Saya banyak ngobrol dengan Mbak Christina dari SAE Home Remedy yang biasa ngeracik essential oil. Saya dari dulu pake produk-produknya Mba Christin dan cocok. Mbak Christina ini juga pernah mengalami permasalahan hormon juga.

Mbak Christin menyarankan saya melakukan beberapa hal:
- berjemur tiap pagi (antara jam 7 - 9 pagi) sambil nyeker di rerumputan. Katanya orang yang mengalami imbalance hormone biasanya kekurangan vitamin D. Yhaaa... sedih amat, hidup di negara tropis tapi kok kekurangan sinar matahari. Sapa suruh duduk mulu di dalem ruangan. Terus ngapain nyeker di rumput? Buat grounding atau earthing gitu lah, ngecharge energi sama Mother Earth. Ini sempat saya lakukan kalau lagi pulang ke rumah. Berjemur bareng ponakan saya di lapangan rumput dekat rumah. Akhir-akhir ini malah udah nggak pernah lagi. Sulit bangun pagi nih hehehehe.



Bayangan saya dan ponakan di lapangan rumput deket rumah


- minum maca powder. Maca ini berbeda dengan matcha ya. Matcha kan teh hijau, kalo maca ini adalah Peruvian ginseng. Bentuknya kayak bengkoang, tapi saya beli dalam bentuk bubuk yang tinggal dicampur sama minuman kayak jus, teh, kopi (saya campur pake kolak biji salak. Enak!). Baunya kayak momogi jagung. Rasanya hambar. Kalo dicampur sama minuman ga gampang larut, malah bergerinjelan gitu (kecuali diblender bareng smoothies atau jus ya). Saya beli di shopee kalo ga salah waktu itu. Dan ga abis-abis karena tiap minum cuma satu sendok teh doang. Eh kalau kalian googling tentang benefit dari maca powder, salah satu yang paling di-highlight adalah untuk meningkatkan gairah seksual. WOOOWWW!!! Hahahaha ya tapi saya minum maca powder bukan untuk itu deh, tapi untuk menyeimbangkan hormon.

Ini saya beli di shopee, nama tokonya Genki Plant

- minum Virgin Coconut Oil. Saya sempat melakukannya rutin tiap pagi pas baru bangun dan perut masih kosong. Tapi sekarang belum dilakukan lagi karenaaaa.... VCO saya ilang, lupa taro di mana.

- diet gluten. Makanan yang mengandung gluten (gandum atau tepung terigu) katanya bisa bikin hormon berantakan. Dipikir-pikir ya bener juga, gandum kan ga ditanem di Indonesia, orang Indonesia tuh makanan pokoknya nasi bukan terigu. Jadi wajar kalo ada yang jadi ngaco di badan. Gila hebat bener nih rancangannya Tuhan. Anyway saya merasa diet gluten berat banget sis! Saya pecinta roti. Belum lagi keinginan jajan gorengan. Susaaahhhh... Saya cuma bertahan diet gluten sebulan aja.


via GIPHY

- minum bone broth alias kaldu tulang. Yang ini belum saya lakukan karena harganya cukup mahal dan ga yakin bakal sanggup minumnya.

- perbanyak makan sayuran hijau. Ini gampang banget. Comfort food saya tuh salad. Jadi kalo lagi rungsing dan banyak pikiran, pengennya jajan salad.

- jangan begadang. Yhaaa ini sulit sih. Lah ini udah jam 3 pagi masih aja nulis blog.

- minum Evening Primrose Oil. saya pilih yang udah jadi bentuk kapsul. beli yang merk Blackmores. Nitip temen pas pulang dari Darwin. Soalnya lebih murah dibanding yang dijual di Indonesia. Ini saya minum sehari sekali. Eh tau nggak kalo di skincare, evening primrose oil sering dipake untuk serum anti-aging. Nah mudah-mudahan karena saya rajin minum kapsulnya, muka saya bisa awet muda *saatnya menggebet brondong*

Paginya saya baru minum satu kapsul doang, malemnya langsung mens

- rutin olahraga. Yak, hampir dapat dipastikan saya males olahraga dengan alasan ga punya waktu. Tapi lumayan nih sejak ngekos, saya olahraganya dengan jalan kaki dari kantor ke kosan. Mayan 15 menit. Harusnya pas berangkat juga. Tapi, saya kalo ke kantor kan siang ya, baru jalan jam 10an. Panas kaaakkkk...

- oles-oles oil yang diracikin Mba Christin. Iya, sekalian curhat, sekalian saya minta diracikin essential oils yang sekiranya membantu menyeimbangkan hormon (kalau ada!). Waktu oilnya dateng, saya ngerasa kok kayak bau kangkung. Jadi kalo oles2 ke bagian2 tubuh, saya ngerasanya kayak kangkung seger baru dipetik.


- berdoa Bapa Kami dan Salam Maria. Serius ini mbak Christin nyuruh begini. Saya lakuin? Iya tapi setengah hati. Sampai suatu hari di bulan Juli, pas lagi perjalanan menuju Yogya, sahabat saya Moncil ngajakin doa rosario. Jadilah saya di kereta doa rosario bareng Moncil deh. Kalo pas rosario kan berarti berdoa Bapa Kami dan Salam Maria berulang-ulang tuh.

Lalu apakah semuanya berhasil? Kebetulan saya sudah menjalani beberapa saran di atas selama sebulan.

Suatu hari, tepatnya tanggal 25 Juli, saya akhirnya mens pemirsaaaa.... HOREEEE!!! Setelah 8 bulan tidak mens, saya kira saya bakal lahiran bulan Agustus #eh.

Kenapa saya bisa inget kapan saya mens? karena itu adalah tanggal tahbisan imamat Jesuit. Ceritanya perjalanan ke Jogja yang saya sebutkan sebelumnya adalah untuk menghadiri misa tahbisan. Kebetulan saya mengenal lima orang yang ditahbiskan tersebut.

Sepulang misa, ada flek darah pas lagi pipis. Tapi saya nggak mau GR. Mengingat sudah lama sekali dari sejak terakhir mens (saya aja sampe lupa ga punya stok pembalut!!!).

Tapi setelah beneran kemudian darahnya mulai banyak keluar di pembalut, saya baru berani bilang ke orang-orang: HEY PEOPLE, TERNYATA AKU GA HAMIL LHO


via GIPHY

Orang-orang mulai heboh ngasih selamat. Ibu saya mau tumpengan. Mba Petty, mbakboss baikhati kesayangan akuh, sampe mau ngadain pesta kembang api. Semua bersyukur dan bersukacita.

Namun, kalo ditanya apakah saya berhasil mens karena menjalani semua hal-hal tersebut di atas? Jawabannya: nggak tau.

Bisa iya, bisa juga nggak.

Bisa juga karena.... SAYA DAPET BERKAT DARI ROMO-ROMO YANG BARU DITAHBISKAN, MANA ROMONYA GANTENG-GANTENG JADI OVARIUM SAYA MEMBUNCAH BAHAGIA!!!



Sengaja ngasih foto yang ga terlalu jelas mukanya, daripada kamu naksir. Lima-limanya udah nggak available ya. Tuh jidatnya ada cap: MILIK TUHAN

Makasih berkatnya ya Romo Melky!

eh tapi kalo kayak gitu, saya mesti rutin dateng tahbisan tiap bulan dong biar mens lancar? *brb ngecek jadwal tahbisan dari ordo lain.

 

(c)2009 racauan si tukang cerita. Based in Wordpress by wpthemesfree Created by Templates for Blogger